Dimuat di kompas.id, 7 Februari 2021
Menelusuri Peta Kota Lama Semarang
Oleh Wahyu Susilo
Judul: Riwayat Kota Lama Semarang dan Keunggulannya sebagai Warisan Dunia
Penulis: Tim Departemen Sejarah Universitas Diponegoro
Editor: Rukardi
Penerbit: Sinar Hidoep, Semarang
Cetakan: Kedua, Oktober 2020
Tebal: xxi + 576 halaman
ISBN: 978-602-61966-4-4
“Semarang pada awalnya adalah wilayah pesisir yang tidak diperhitungkan pada masa kekuasaan Mataram Islam dibandingkan dengan Demak atau Jepara.”
PADA suatu masa, terutama pada era Orde Baru hingga saat euforia pemekaran wilayah, terjadi booming penulisan sejarah perkotaan dengan pengatasnamakan penelusuran asal usul kota sampai tanggal kelahiran. Bahkan, penulisan sejarah wilayah tertentu bisa menjadi landasan dan legitimasi tuntutan pemekaran wilayah menjadi kota atau kabupaten baru.
Tentu saja penulisan sejarah yang sangat pragmatis tersebut jauh dari prinsip-prinsip penulisan sejarah akademik yang mengedepankan aspek-aspek otentisitas sumber dan fakta.
Situasi ini menjadi tantangan bagi para sejarawan untuk mengembalikan lagi maruah sejarah perkotaan dari pragmatisme menuju upaya mengembalikan historiografi sejarah perkotaan yang berkualitas, bahkan bisa menjadi pedoman pengembangan perkotaan yang berakar pada sejarah.
Tentu saja buku yang dibahas ini adalah penulisan sejarah perkotaan yang ditulis secara serius dengan metode sejarah. Sumber sejarah primer yang dipakai berasal dari arsip-arsip dokumen pemerintah, surat kabar sezaman, dan peta-peta sezaman.
Buku tentang riwayat kota Semarang, terutama bagian Kota Lama Semarang ini, bisa menjadi referensi baru mengenai Kota Semarang yang selama ini banyak bersumber dari dua buku babon sejarah yaitu Semarang Riwayatmu Dulu (Amen Budiman, 1978) dan Riwajat Semarang: Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan ( Liem Thian Joe,1933). Harus diakui dua buku ini ditulis jauh dari cita rasa historiografi.
Hadirnya buku ini memperkaya penulisan sejarah perkotaan. Semarang adalah salah satu kota penting di Jawa sejak zaman kolonial, disamping Batavia (sekarang Jakarta), Surabaya, Yogyakarta, dan Surakarta. Sejauh ini bahasan mengenai sejarah perkotaan pada kota-kota utama ini terbagi menjadi dua kajian perkotaan.
Kajian pertama, untuk kota Surakarta dan Yogyakarta berbasis pada toponomi perkotaan berbasis analisis kosmologi kekuasaan Jawa. Analisis ini bertumpu pada dinamika kekuasaan Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Kajian kedua, untuk kota Batavia, Semarang dan Surabaya berbasis pada perkembangan kolonialisme, dinamika ekonomi-politik kota hingga berkembang menjadi kawasan yang kosmopolit dan multietnik.
Dalam empat bab pertama, geliat Kota Semarang disajikan mulai dari sejarah penguasaan Mataram, struktur demografi berbasis etnisitas yang juga menjadi landasan clustering tata kota hingga pembentukan kota benteng Europeesche Buurt yang kemudian dikenal sebagai Kota Lama Semarang.
Semarang pada awalnya adalah wilayah pesisir yang tidak diperhitungkan dalam masa kekuasaan Mataram Islam dibanding dengan Demak atau Jepara. Namun ketika VOC mulai memasuki Jawa dan berhasil menundukkan kuasa politik Mataram, dia berkembang menjadi kota niaga karena posisi strategisnya sebagai pelabuhan terbesar kedua setelah Sunda Kelapa.
Semarang bahkan sempat menjadi ibu kota darurat ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia jatuh ke tangan Inggris. Semarang juga dikenal sebagai lokasi ”Geger Pacinan Semarang 1741” setelah perlawanan etnik Tionghoa terhadap VOC gagal pada 1740 yang berakhir dengan pembantaian.
Berkembangnya Semarang sebagai kota pusat perdagangan dan pemerintahan menjadi daya tarik kehadiran penduduk Eropa, baik menjadi pegawai kolonial maupun berbisnis menggerakkan kapitalisme perkebunan. Kehadiran mereka mempengaruhi pembentukan permukiman kota. Kluster Europeesche Buurt yang dilindungi oleh benteng pertahanan ini juga diupayakan seperti yang ada di Eropa sehingga penamaannya juga memakai nama-nama kota di Belanda.
Pembangunan benteng ini serupa dengan inisiatif mengembangkan Batavia pada saat awalnya. Secara fisik benteng memperlihatkan kemegahan dan kekokohan (sebagai simbol kekuasaan), tetapi di balik itu tersembunyi rasa ketakutan dari serangan musuh.
Sumber-sumber peta sezaman (kartografi) menjadi dokumen andalan dan sangat informatif disajikan ketika merunut sejarah pembangunan benteng dan pembentukan tata permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum, moda transportasi, serta penamaan jalan-jalan. Ini menjadi panduan utama untuk menata Kota Lama Semarang di masa kini.
Bab selanjutnya dalam buku ini menyampaikan dinamika sosial ekonomi Kota Semarang terkait dengan perkembangan kapitalisme perkebunan, pertumbuhan Kota Semarang yang makin kosmopolitan.
Dalam bab mengenai Riwayat Bangunan di Kota Lama, sebagian besar disajikan perbandingan kondisi fisik bangunan pada zamannya dengan kondisi saat ini. Penyajian ini merupakan hasil dari pekerjaan pendokumentasian yang tidak mudah. Akan lebih baik sebenarnya foto-foto tersebut disajikan dalam tampilan yang lebih besar dan mudah dilihat, bahkan mungkin bisa dibuat katalog khusus mengenai dokumentasi bangunan di masa lalu dan masa kini.
Sesaat menuntaskan buku ini, terasa ada yang kurang dari pembahasan perkembangan Kota Semarang di awal abad ke-20. Meskipun buku ini mengutip beberapa pendapat Sneevliet, tidak memberi perhatian khusus mengenai dinamika politik perburuhan yang sangat kuat di Semarang.
Pertumbuhan sektor industri, jasa, dan transportasi dibarengi dengan tumbuhnya serikat-serikat buruh dan organisasi politik ISDV. Inilah yang meradikalisasi Sarekat Islam Semarang bertransformasi menjadi Partai Komunis di Hindia.
Secara umum, buku ini wajib dibaca untuk siapa pun yang ingin mendalami sejarah perkembangan kota, para planolog, dan arsitek yang memberi perhatian pada kota-kota lama, dan tentu saja para pemangku kepentingan mengenai kebijakan perkotaan.
–Wahyu Susilo, alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, menulis skripsi tentang sejarah politik perkotaan di Semarang. Saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Migrant Care.
Pernah dimuat di www.kompas.id