PERJALANAN ARYA PURWALELANA MENGELILINGI JAWA (1860-1875)

Rp 95.000

Penulis: R.M.A.A. Candranegara V

Tebal: xxxiv + 314 halaman

Dimensi: 14 x 21 cm

Berat: 400 gram

ISBN: –

Deskripsi

Perjalanan Arya Purwalelana Mengelilingi Jawa (1860-1875)

PADA awal paruh kedua abad ke-19, seseorang yang menyebut dirinya Raden Mas Arya Purwalelana melakukan sebuah perjalanan panjang. Ditemani sejumlah abdinya, ia menjelajahi 18 dari 22 keresidenan yang ada di Pulau Jawa, mulai Betawi, Priangan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Banyuwangi, Kediri, Madiun, Surakarta, Kedu, hingga Yogyakarta. Untuk mencapai tempat-tempat itu, ia menggunakan kereta kuda, menumpang kapal uap, perahu, rakit, menunggang kuda, berjalan kaki, hingga menjajal moda transportasi yang kala itu baru dioperasikan di tanah Hindia: kereta api.

Perjalanan Purwalelana dibagi menjadi empat babak, yang semuanya berawal dan berakhir di Salatiga. Selain melalui jalan utama, laiknya Jalan Raya Pos (Jalan Daendels) dan jalan antarkota, ia adakalanya juga menyusuri sungai serta jalan-jalan kecil yang membelah pegunungan dan hutan belantara. Banyak sekali tempat penting dan menarik yang dikunjunginya, mulai dari alun-alun, gedung kabupaten, keresidenan, keraton raja-raja Jawa, istana gubernur jenderal, sekolah, pesantren, museum, pesanggrahan, rumah sakit, pabrik, monumen, pasar, jembatan, stasiun, pelabuhan, benteng, hingga kamar bola. Ia pun menziarahi makam-makam orang suci, tempat keramat, rumah ibadah, situs purbakala, pemandian, air terjun, gunung, bukit, hutan, pantai, perkebunan, taman, serta permukiman warga, baik di kota maupun pelosok desa. Di tengah perjalanannya, Purwalelana menyaksikan berbagai peristiwa menarik, seperti Kota Kuningan yang luluh lantak dilanda gempa, perayaan Lebaran yang meriah di Bondowoso, Kota Blitar yang porak-poranda akibat banjir lahar dari Gunung Kelud, perayaan garebek Besar di Keraton Surakarta, dan jumenengan raja di Pura Mangkunegaran.

Lantas apa tujuan Purwalelana melakukan perjalanan panjang yang memakan banyak waktu, tenaga, dan biaya itu? Sekadar pelesiran? Tidak. Selain menyegarkan pikiran, menambah pengalaman, dan wawasan, ia rela berpayah-payah berkelana demi mendapatkan bahan tulisan. Benar, usai menuntaskan pengembaraannya, Purwalelana menulis sebuah cerita perjalanan. Oleh lembaga percetakan pemerintah Hindia Belanda (Landsdrukkerij van Nederlandsch-Indië), tulisan yang diberi judul Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana itu kemudian diterbitkan dalam dua jilid buku, masing-masing pada tahun 1865 dan 1866.

Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana bukan catatan perjalanan biasa. Naskah beraksara dan berbahasa Jawa itu disebut-sebut sebagai karya monumental. Ia menunjukkan kebaruan setidaknya dalam tiga hal. Pertama, mendobrak pakem cerita perjalanan dalam sastra Jawa yang hingga saat itu identik dengan format tembang (puisi). Berbeda dari para pendahulunya, tulisan Purwalelana berbentuk prosa dan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kedua, tercatat sebagai salah satu manuskrip berbahasa Jawa pertama yang didistribusikan dalam bentuk cetakan. Ketiga, bereksperimen menggunakan spasi di antara kata, hal yang tak sesuai dengan konvensi penulisan aksara Jawa.

Setelah terbit, catatan perjalanan Raden Mas Arya Purwalelana beroleh sambutan hangat dari pembaca. Selain menyajikan sesuatu yang berbeda, karya itu juga memberi informasi mengenai daerah-daerah lain di Pulau Jawa beserta adat kebiasaan masyarakatnya. Dalam batas-batas tertentu, catatan perjalanan Purwalelana tak ubahnya ensiklopedia kecil mengenai Jawa pada paruh kedua abad ke-19. Di dalamnya memuat informasi mengenai struktur administrasi wilayah, tata ruang, bentang alam, infrastruktur, teknologi, arsitektur, transportasi, demografi, mata pencarian, pertanian, perdagangan, industri, politik, ekonomi, sejarah, seni, budaya, tradisi, pendidikan, pariwisata, kuliner, kriminalitas, flora-fauna, satuan ukuran, mata uang, hingga mitos dan legenda.

Karya ini juga menyerupai laporan antropologi yang disajikan secara pandangan mata. Penduduk Semarang, misalnya, digambarkan penulis, nyaris kehilangan tradisinya akibat ekspansi kaum pendatang. Sebagian dari mereka tidak lagi lancar berbahasa Jawa krama dan berpakaian tak selayaknya orang Jawa. Sedangkan Keresidenan Priangan dilukiskan masih tertutup dari dunia luar dan sangat minim tindak kejahatan. Kaum perempuannya hanya mengenakan kain sarung sampai di atas pusar. Mereka yang masih gadis menambahkan atasan kebaya tanpa kancing dan kemben, sedangkan yang sudah menikah bertelanjang dada. Di Lumajang, banyaknya populasi orang Madura membuat sang pengelana kesulitan menemukan warga yang bisa diajak berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Purwalelana juga memaparkan fakta perihal Kota Kudus, yang meski memiliki banyak masjid namun juga ditinggali para tledhek dan wanita tuna susila. Adapun di Surakarta, Purwalelana mengungkap realitas muram kehidupan kaum bangsawan. Banyak di antara mereka yang malas bekerja hingga terlibat aksi kejahatan. Sehari-hari aktivitas para bangsawan itu hanya kumpul-kumpul, bersenang-senang, atau main perempuan.

Purwalelana yang punya ketertarikan terhadap sains dan teknologi juga menceritakan secara rinci proses produksi di bengkel-bengkel dan pabrik yang ia kunjungi. Bengkel-bengkel dan pabrik itu antara lain bengkel modifikasi senjata api di Meester Cornelis (Jatinegara), pabrik gas di Betawi, bengkel Constructie Winkel di Surabaya, galangan kapal di Desa Dasun, Rembang, serta pabrik gula Colomadu di Karanganyar.

Purwalelana menulis catatan perjalanannya dengan deskripsi yang mengalir, sehingga pembaca masa itu mendapatkan sensasi baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Mereka pun seolah-olah turut bertualang menyusuri tempat-tempat yang diceritakan. Sejarawan Belanda, Pieter Johannes Veth dalam karya ensiklopedisnya, Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch (1875) menyebut Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana punya arti penting, yakni memberikan orang Jawa bahan bacaan yang lebih baik dari biasanya. Mengingat minimnya orang Jawa yang menguasai bahasa Belanda, karya semacam itu bisa menjadi pintu masuk bagi mereka untuk lebih mengenal peradaban Eropa.

Hanya saja, eksperimentasi penggunaan spasi dalam teks aksara Jawa yang dilakukan Purwalelana dinilai membingungkan pembaca. Hingga ketika kemudian dicetak ulang, format penulisannya dikembalikan ke konvensi lama, sesuatu yang tak pernah diubah hingga sekarang. Cetak ulang jilid I berjudul Cariyos Bab Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana diterbitkan oleh G.C.T. van Dorp Semarang pada 1877. Adapun jilid II diterbitkan ulang oleh Ogilvie & Co. Batavia pada 1880 dengan judul Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana. Selain mengubah cara penulisan yang membingungkan pembaca, revisi juga mencakup beberapa hal substansial, seperti pencanggihan bahasa dan penambahan konten di beberapa bagian tulisan. Penambahan konten, antara lain berupa deskripsi mengenai pengalaman menumpang kereta api di jalur Ambarawa-Kedungjati.

Sukses Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana segera menginspirasi penulis-penulis Jawa lainnya. Hingga setelah itu muncul catatan-catatan perjalanan serupa yang ditulis dengan gaya prosa, antara lain Cariyos Nagari Betawi karya R.A. Sastradarma (1867), Purwa Carita Bali karya R. Sastrawijaya (1875), Cariyos Nagari Welandi karya Abdoellah Ibnoe Sabar bin Arkebah (1876), Cariyos Negari Padhang karya R.A. Darmabrata (1876), Cariyos Saradhadhu Jawi karya anonim (1877), dan Serat Cariyos Kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Nagari Walandi karya R.M.A. Suryasuparta (1916).

Namun, Raden Mas Arya Purwalelana sesungguhnya hanyalah nama pena (pen name) yang berarti pengembara pertama. Sosok aslinya adalah Raden Mas Arya Adipati (R.M.A.A.) Candranegara V, bangsawan Jawa yang pernah menjabat sebagai Bupati Kudus dan Brebes. Nama asli tersebut baru dituliskan secara terang dalam edisi cetak ulang Jilid I pada tahun 1877. Sesuai namanya, Candranegara V berasal dari keluarga Candranegara (Tjondronegoro) yang berkuasa di sejumlah kabupaten di wilayah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur sepanjang abad ke-19. Ia putra P.A. Candranegara IV, Bupati Kudus (1835-1850) dan Bupati Demak (1850-1866), yang dikenal cakap, setia kepada pemerintah, serta sangat antusias dengan pendidikan Barat.

Judith E. Bosnak dan Frans X. Koot dalam The Javanese Travels of Purwalelana: A Nobleman’s Account of His Journeys Across The Island of Java mengungkapkan, sedari kecil Candranegara V bersama saudara-saudaranya telah mendapatkan pendidikan ala Eropa. Tidak mengherankan jika mereka cakap berbahasa asing, intelek, dan tumbuh dalam atmosfer budaya hibrida. Berkat trah dan pendidikan, Candranegara V bersama tiga putra Candranegara IV lainnya kemudian berhasil menduduki jabatan bupati di sejumlah daerah di pesisir utara Jawa Tengah. R.M.A.A. Candranegara V menjadi Bupati Kudus (1858-1880) dan Brebes (1880-1885), R.M.A.A. Purbaningrat Bupati Demak (1866-1881) dan Bupati Semarang (1881-1883), R.M.A.A Sasraningrat Bupati Jepara (1881-1905), serta P.A. Hadiningrat menjabat Bupati Demak (1881-1915).

Sebagai bupati, karier Candranegara V bisa dikatakan cemerlang. Ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata pemimpin bumiputra dan mengenal dengan sangat baik peradaban Eropa. Terlebih lelaki kelahiran 9 Februari 1837 yang bernama kecil Raden Bagus Prawata itu mempunyai kedudukan istimewa karena menikah dengan Raden Ayu Mening, putri Mangkunegara IV. Saat menjabat sebagai Bupati Kudus, Candranegara V mendapat penghargaan medali emas dari pemerintah kolonial Belanda. Ia juga memiliki relasi yang baik dengan para pejabat tinggi dan kalangan intelektual Belanda. Pada 1865 Candranegara V pernah diterima sebagai tamu Gubernur Jenderal Baron Sloet van de Beele di Batavia. Setahun kemudian, ia mendapat kunjungan balasan dari sang Gubernur Jenderal. Paman dari Pahlawan Nasional R.A. Kartini tersebut juga menjadi anggota beberapa lembaga Belanda, antara lain Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG) dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV).

Namun, lanjut Bosnak dan Koot, nama baik Candranegara V sempat tercoreng oleh kasus yang menjerat dirinya. Satu versi menyebut ia melakukan penyalahgunaan kekuasaan, versi lain, sebagaimana dikutip dari Marcel Bonneff, terlibat pembunuhan seseorang bernama Bernawi. Akibat skandal itu, pada tahun 1880 Candranegara V dipindahtugaskan menjadi Bupati Brebes. Meski demikian pada 1883, orang Jawa pertama yang menulis artikel di jurnal KITLV: Bijdragen tot de Taal- Land-en Volkenkunde itu tetap mendapatkan payung emas sebagai tanda pengabdian selama 25 tahun kepada pemerintah. R.M.A.A Candranegara V meninggal dunia di Brebes pada tanggal 6 Mei 1885 dalam usia relatif muda: 48 tahun.

Catatan perjalanan Candranegara V sejauh ini telah dialihbahasakan dan diterbitkan ke dalam empat bahasa, yakni bahasa Madura (1882), Prancis (1986), Belanda (2013), dan Inggris (2020). Untuk melengkapinya, kami pun mengalihbahasakan dan menerbitkan Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana dalam bahasa Indonesia. Tujuannya untuk mengenalkan kembali karya terlupakan ini beserta kekayaan informasi yang ada di dalamnya kepada pembaca abad ke-21.

Buku Perjalanan Arya Purwalelana Berkeliling Jawa (1860-1875) diterjemahkan langsung dari Cariyos Bab Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana Jilid I yang diterbitkan G.C.T. van Dorp Semarang pada 1877 dan Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana Jilid II terbitan Ogilvie & Co. Batavia pada 1880. Sebab keduanya merupakan edisi revisi dan dianggap sebagai versi paripurna catatan perjalanan Raden Mas Arya Purwalelana. Alih aksara dan alih bahasa dikerjakan oleh Agus Basuki, Pippo Agosto, dan Rukardi.

Untuk melengkapi penerbitan ini, kami menyertakan foto-foto dan gambar ilustrasi sezaman koleksi KITLV. Foto-foto dan gambar ilustrasi itu menunjukkan tempat-tempat dan objek yang pernah dikunjungi Candranegara V dalam perjalanannya.

Ulasan

Belum ada ulasan.

Jadilah yang pertama memberikan ulasan “PERJALANAN ARYA PURWALELANA MENGELILINGI JAWA (1860-1875)”