PERAWAN DESA

Rp 65.000

Penulis:W.R. Supratman
Tebal:188 halaman
Dimensi:13 x 19 cm
Berat:200 gram
ISBN:978-602-61966-7-5

 

Deskripsi

Perawan Desa

KEBANYAKAN dari kita mengenal Wage Rudolf Supratman sebagai komponis dan pencipta tembang-tembang perjuangan, khususnya lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Hanya sedikit yang tahu ihwal aktivitasnya di dunia kepenulisan. Padahal faktual, Wage adalah seorang jurnalis yang biasa bergelut dengan aktivitas tulis-menulis dalam keseharian.

Sebagai jurnalis, lelaki berkacamata bundar yang dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah ini pernah bekerja di sejumlah media, antara lain Kaoem Moeda, Kaoem Kita, Biro Pers Alpena, dan Sin Po. Di dalam tulisan-tulisannya, dia kerap mewartakan aktivitas kaum pergerakan dan getol menyerukan pentingnya persatuan nasional.

Selain berita dan artikel, Wage rupanya juga menulis karya sastra. Ya, dalam masa hidupnya yang relatif singkat, dia tercatat pernah menelurkan beberapa cerita roman. Dari sejumlah literatur, kita setidaknya bisa menemukan tiga judul roman karya W.R. Supratman, yakni Perawan Desa, Darah Moeda, dan Kaoem Fanatiek. Namun jika ditelisik lebih jauh, kita hanya bisa menemukan satu di antaranya, yakni Perawan Desa. Roman Darah Moeda sama sekali tidak terlacak jejaknya. Adapun Kaoem Fanatiek sempat diiklankan oleh W.R. Supratman di halaman depan buku roman Perawan Desa.

“Batjalah boekoe ‘Kaoem Fanatiek’, soeatoe roman jang terdjadi dalam soeatoe tanah particulier di Batavia. Kekedjaman seorang jang berharta, keboeasan seorang mandor jang djadi boedak jang tidak merdeka dan ketjerdikan seorang penipoe.

Lebih djaoeh, batjalah bagaimana penghidoepan kaoem tani di Betawi, drama dan kesengsara’an seorang gadis jang dirampas kemerdeka’annja.”

Meski demikian, Kaoem Fanatiek sepertinya tidak sempat terbit dan diedarkan pascapemberedelan Perawan Desa. Seperti Darah Moeda, naskah roman tersebut juga tak dapat ditelusuri keberadaannya. Dengan demikian, sejauh ini satu-satunya karya sastra W.R. Supratman yang bisa ditemukan hanyalah Perawan Desa.

Roman Perawan Desa berkisah tentang Sitti Adminah, gadis dusun yang tercerabut dari akar budayanya setelah mendapat pendidikan dan hidup dalam lingkungan pergaulan Eropa. Sebagai generasi terdidik, dia sangat optimistis dalam menjalani hidup. Setelah lulus dari HBS di Batavia, gadis yang akrab disapa Mientje itu telah menyusun rencana untuk masa depannya. Namun, gambaran indah tersebut hancur seketika oleh ulah penipu berwujud lelaki muda Belanda. Di luar alur cerita utama, W.R. Supratman menyisipkan banyak kritik terhadap kebusukan kolonialisme, mulai dari politik segregasi dan diskriminasi, penindasan terhadap masyarakat pribumi, hingga praktik korupsi di kalangan aparat birokrasi. Dia di dalam karya ini juga terang-terangan melontar gagasan mengenai persatuan dan kemerdekaan.

Bagi pemerintah kolonial, cerita roman semacam itu dianggap membahayakan rust en orde. Tak ubahnya karya aktivis pergerakan lain seperti Tirto Adhi Soerjo, Semaun, Marco Kartodikromo, dan Mas Rangsang, roman Perawan Desa juga dikategorikan sebagai “bacaan liar”. Keberadaannya dianggap dapat memprovokasi rakyat untuk bergerak dan melawan. Maka setelah melakukan penyelidikan, aparat Politieke Inlichtingen Dienst (PID), atas perintah Procureur Generaal (Jaksa Agung), langsung bergerak. Mereka menyita roman Perawan Desa yang baru selesai dicetak, dan melarang peredarannya. Dengan begitu, karya yang diterbitkan pada tahun 1929 ini belum sempat beredar luas di masyarakat. Insiden pemberedelan membuat roman Perawan Desa seolah tidak pernah ada. Ia pun nyaris tak dibicarakan dan selama hampir satu abad lenyap dari panggung sastra Indonesia.

Namun rupanya Perawan Desa tak benar-benar hilang. Beberapa eksemplar buku roman sosial itu lolos dari pemberangusan. Sebagian telanjur dikirimkan Wage kepada teman dan koleganya di luar kota, sebagian lainnya berhasil diselamatkan oleh pegawai percetakan. Belakangan, buku-buku yang lolos dari penyitaan itu beredar di kalangan pedagang dan kolektor barang lawas. Ia kemudian direproduksi sehingga bisa dibaca oleh kalangan terbatas.

Penerbitan kembali roman Perawan Desa dimaksudkan untuk mengenalkan karya sastra yang sempat hilang ini beserta gagasan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, kita yang hidup pada zaman sekarang bisa belajar sekaligus melihat sosok sang penulis, W.R. Supratman, secara lebih komprehensif. Tidak hanya sebagai komposer nasionalis bersenjatakan biola, namun juga jurnalis dan sastrawan progresif yang melawan kolonialisme menggunakan pena.

Penyuntingan dilakukan seperlunya agar karya ini bisa dinikmati lebih nyaman oleh para pembaca. Ejaan van Ophuijsen yang digunakan pada terbitan pertama diubah menjadi Ejaan yang Disempurnakan. Meski demikian, penyuntingan sebisa mungkin tidak mengubah struktur kalimat maupun istilah dan kosa kata lama yang bersifat khas. Dengan demikian, gaya penulisan W.R. Supratman beserta jiwa zaman (zeitgeist) yang melingkupi cerita roman Perawan Desa tetap bisa dirasakan oleh pembaca.