MELAYAP KE NUSANTARA

Rp 67.000

Penulis:Ong Tae Hae
Tebal:206 halaman
Dimensi:13 x 19 cm
Berat:200 gram
ISBN:978-602-61966-8-2

 

Deskripsi

Melayap ke Nusantara – Catatan Perjalanan Seorang Pengelana Tiongkok pada Akhir Abad ke-18

PADA 1783, dalam deraan kemiskinan dan kegalauan perihal pekerjaan, Ong Tae Hae (王大海) memutuskan melayap ke Kepulauan Melayu (Nusantara). Setelah menempuh perjalanan berminggu-minggu dengan menumpang kapal dagang Tiongkok, ia akhirnya mendarat di Batavia. Tak puas berdiam di satu tempat, pemuda asal Chiang-ciu, Provinsi Hokkian ini memutuskan untuk berkelana. Dari Batavia ia menumpang jung ke Semarang dan tinggal beberapa waktu di sana. Setelah itu Ong meneruskan perjalanannya ke Pekalongan lewat jalur darat. Di kota ini ia juga tinggal sekian lama, sebelum akhirnya kembali ke Batavia. Ong Tae Hae, seperti yang ia tulis dalam catatan perjalanannya, kemudian mengunjungi tempat-tempat lain di Nusantara, salah satunya Banjarmasin di pesisir selatan Kalimantan.

Sebagai seorang terpelajar, Ong tidak hanya melakukan pelancongan biasa. Ia mencatat apa-apa yang dilihat, ditemui, dan dirasakan di tempat-tempat persinggahannya. Ia juga mendokumentasikan ragam cerita yang didengar dari orang-orang yang ditemuinya. Setelah 10 tahun tinggal di Nusantara, Ong berhasil mengumpulkan banyak catatan mengenai kawasan ini, mulai dari sejarah, geografi, demografi, iklim, suku bangsa, adat-istiadat, kepercayaan, kekayaan alam, ragam satwa dan tumbuhan, hal-hal khas dan unik, hingga cerita-cerita takhayul yang berkembang di masyarakat. Catatan-catatan itu kemudian ia susun secara sistematis dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Haidao Yizhi (Catatan Lepas mengenai Negeri-Negeri Kepulauan).

Banyak kesaksian menarik disampaikan Ong Tae Hae di dalam buku ini. Ia misalnya, menyebut Semarang jauh lebih unggul dari Batavia. Selain kondisi tanah dan iklimnya yang bagus, penduduknya memiliki tatakrama yang baik. Mereka tidak mengambil barang milik orang lain yang jatuh di jalan. Hukum ditegakkan dengan sangat ketat sehingga orang tak punya alasan untuk mengunci pintu-pintu rumah mereka pada waktu malam. Ong juga menggambarkan kondisi jalanan pantai utara Jawa beserta tempat-tempat yang dilintasinya. Saat itu, jauh sebelum Daendels membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), jalanan di pantai utara masih sangat buruk dan berbahaya. Jalanan yang terputus-putus oleh aliran sungai besar dan hutan rimba itu dihubungkan dengan jembatan-jembatan dan perahu penyeberangan sederhana. Dengan kondisi tersebut, perjalanan darat dari Cirebon ke Batavia harus ditempuh dalam waktu 10 hari.

Di buku ini, Ong Tae Hae juga mencatat fenomena-fenomena alam unik yang terjadi di Nusantara, seperti pelangi bundar dan petir biru di Laut Jawa, ular sanca raksasa yang sanggup membelit gajah di Palembang, medan magnet di perairan Banyuwangi, serta kemisteriusan Samudera Hindia. Dipicu kekurangan dalam tulisan Thêng Jit Kài (程日妎) mengenai sejarah Batavia, Ong menambahkan cerita sejumlah tokoh Tionghoa di Nusantara yang punya kisah hidup menarik, mulai dari pemimpin muhibah Dinasti Ming, Ong Sam Pò, lalu Kwee Lak Kwa (六官, Lak Koan) yang diyakini moksa dan malih menjadi dewa pelindung para nelayan di pantai utara Jawa, Kapitan Tionghoa Batavia Khóo Hong Liâng yang murah hati dan bijaksana terhadap budak-budaknya, gadis cantik Nî Chiáp Kong yang memilih menenggelamkan diri ke Kali Batavia ketimbang diperistri lelaki kaya yang tak dicintainya, hingga biksu Pūut Pin di Semarang yang alih-alih menjauhi kesenangan dunia, justru menikah dan hidup nyaman dikelilingi para pelayan.

Tak kalah menarik adalah catatan Ong Tae Hae mengenai teknologi Barat yang ia lihat atau dengar ceritanya dari orang lain saat berada di Nusantara. Ia mengagumi peranti-peranti mutakhir yang mempermudah kehidupan manusia zaman itu, seperti kuadran, barometer, jam, sekoci udara, senapan angin, kompas pelaut, teknologi kapal Eropa, teleskop, bom, derek, dan mikroskop. Ong juga mengagumi keahlian dokter Belanda yang mampu menyembuhkan gangren selebar piring menggunakan daging babi. Ia pun dibuat terpana oleh kehebatan suku-suku asli dalam pembuatan racun dan ilmu bela diri.

Terlepas dari kelemahan akurasi dan penggambaran yang dilebih-lebihkan di beberapa bagian, Haidao Yizhi tetap punya nilai istimewa. Ia tidak hanya memberikan informasi menarik, namun juga mengungkap persepsi orang Tionghoa terhadap Nusantara, yang sebagian wilayahnya saat itu telah menjadi koloni VOC. Pendek kata, karya Ong Tae Hae ini bisa dijadikan sumber alternatif untuk mengkaji sejarah Jawa dan Kepulauan Nusantara pada akhir abad ke-18.

Ya, selama ini kita telah mafhum perihal sumbangan Tiongkok dalam historiografi Indonesia. Bangsa dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia itu memiliki catatan-catatan sejarah penting yang berkait dengan Kepulauan Nusantara. Catatan Tiongkok tertua yang memuat informasi mengenai Nusantara adalah Fo Guo Ji (Catatan-Catatan Negara Buddhis) yang ditulis oleh Faxian pada awal abad ke-5 Masehi. Setelah itu muncul catatan-catatan serupa namun relatif lebih lengkap, antara lain Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai Samudera) karya Ma Huan (1416) dan Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan) tulisan Fei Xin. Kitab-kitab sejarah dinasti juga memberikan informasi mengenai Nusantara, terutama berkaitan dengan duta kerajaan-kerajaan Nusantara yang diutus ke istana kaisar di Tiongkok.

Catatan-catatan Tiongkok punya arti penting, karena dapat difungsikan sebagai pembanding sumber sejarah tradisional di Nusantara yang cenderung bias, anakronistis, dan berselaput mitos. Fungsi tersebut berjalan karena, pertama, catatan Tiongkok lazimnya dilengkapi kronologi dan tengara waktu yang dikomparasikan dengan masa pemerintahan kaisar. Kedua, catatan-catatan itu, baik yang berbentuk kronik, cerita perjalanan, maupun kitab sejarah resmi, hampir semuanya ditulis dalam bentuk prosa serta menggunakan metode pengamatan dan wawancara.

Ketika bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan samudra dan sampai di Kepulauan Nusantara, pamor catatan Tiongkok seolah tenggelam. Orang-orang kulit putih itu memiliki tradisi menulis yang relatif lebih kronologis, akurat, dan rasional. Tulisan-tulisan mereka dibuat dalam bentuk laporan, buku, maupun artikel di surat kabar. Akibatnya kebanyakan sejarawan yang menulis tentang periode ini lebih senang menggunakan sumber-sumber Eropa tersebut dan cenderung menafikan catatan-catatan Tiongkok.

Padahal faktual, catatan Tiongkok masih dibuat pada masa kolonial. Beberapa pengelana dari negeri Tirai Bambu yang berkunjung ke Nusantara pada periode ini menuliskan catatan perjalanannya. Begitu pula para pujangga istana dan penulis lain, tetap memproduksi kitab sejarah dinasti serta catatan-catatan mereka. Sebagai contoh, kita bisa menyebut beberapa karya, antara lain Hai Yu (Berita tentang Lautan) yang ditulis oleh Huang Zhong (1537), lalu Hua Yi Fengtu Ji (Catatan Kebiasaan dan Produk Tiongkok serta Negara-Negara Asing) yang diterbitkan pada 1594, Haiguo Wenjian Lu (Risalah Geografi Kecil) terbit pada tahun 1744, Galaba Jilüe (Riwayat Singkat Batavia) yang ditulis oleh Cheng Xunwo pada paruh pertama abad ke-18, Haiguo Tuzhi (Peta dan Deskripsi Negara-Negara Asing) karangan seorang pejabat Tiongkok (1844), dan tentu saja Haidao Yizhi karya Ong Tae Hae dan diterbitkan pada 1806.

Pada 1849, Haidao Yizhi diterjemahkan dan diterbitkan kembali dalam Bahasa Inggris oleh misionaris Kongregasionalis Inggris, Walter Henry Medhurst (1796-1857) dengan judul The Chinaman Abroad or A desultory account of the Malayan Archipelago, particularly of Java. Adapun buku yang tengah Anda baca ini hasil terjemahan dari edisi bahasa Inggris tersebut. Kami memilih judul Melayap ke Nusantara: Catatan Perjalanan Seorang Pengelana Tiongkok pada Akhir Abad ke-18 untuk menggambarkan gaya pengembaraan Ong Tae Hae di Nusantara. Kata melayap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain memiliki makna: “bepergian dengan tidak tentu arah dan tujuan; keluyuran.”