KAIN DI JAWA

Rp 110.000

Penulis:Siti Maziyah
Tebal:xxxiii + 334 halaman
Dimensi:13 x 19 cm
Berat:400 gram
ISBN:

 

Deskripsi

Kain di Jawa Dari Era Mataram Kuno hingga Majapahit

SEJAK kapan penduduk Jawa berpakaian? Apakah Homo wajakensis dan Homo soloensis yang hidup di lapisan Pleistosen Atas (120.000-11.800 tahun lalu) sudah menutup bagian tubuh mereka dengan kulit kayu atau kulit binatang? Minimnya bukti arkeologis membuat pertanyaan itu sulit dijawab. Namun ahli purbakala mengidentifikasi penutur bahasa Austronesia yang mulai menghuni Pulau Jawa sejak 2000 tahun Sebelum Masehi sudah mengenakan pakaian. Peter Bellwood dalam Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago menuturkan, selain membawa kebudayaan bercocok tanam, membangun permukiman, beternak, membuat gerabah, mengolah logam, menggunakan sumpit, mengunyah sirih, merajah tubuh, dan mengenal sistem kekerabatan, mereka juga telah menguasai teknik pembuatan pakaian, baik dari kulit kayu maupun serat tanaman.

Dalam perkembangannya, pakaian menjadi kebutuhan dasar manusia, tak terkecuali mereka yang hidup di Pulau Jawa. Mula-mula sebagai pelindung tubuh dari pengaruh lingkungan dan cuaca, lalu berkorelasi dengan masalah etika dan estetika. Terkait penggunaan kain dan pakaian, Kitab Sejarah Dinasti Liang (502-557 M), buku 54, mendeskripsikan kondisi sebuah negeri yang diperkirakan berada di bagian barat pantai utara Pulau Jawa:

“Negara Lang-ga-su atau Lang-ga terletak di samudra selatan. Panjangnya dari timur ke barat adalah 30 hari dan dari utara ke selatan 20 hari. Jaraknya dari Guangzhou 24.000 li. Iklim dan hasil buminya hampir sama dengan Siam. Gaharu yang memiliki kualitas berbeda dan minyak kamper melimpah di mana-mana. Baik pria maupun wanita tidak mengenakan penutup dada, tetapi mengenakan sarung katun untuk menutupi bagian bawah tubuh mereka. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Raja dan kaum bangsawan mengenakan kain bergambar bunga yang tipis (selendang) untuk menutupi bagian atas tubuh. Mereka mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas di telinga mereka. Gadis-gadis muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan mengenakan ikat pinggang sulam.” (W.P. Groeneveldt, 2009, hlm.14-15).

Dalam analisis Guru Besar Arkeologi UI, Prof. Agus Aris Munandar, Lang-ga-su identik dengan Tarumanagara, kerajaan bercorak Hindu-Buddha pertama di Pulau Jawa. Jika analisis tersebut benar, kita bisa melihat tingkat peradaban pakaian penduduk Jawa masa itu dari teks-teks berita Cina di atas. Keberadaan sarung katun dan kain bergambar bunga menunjukkan bahwa pada abad ke-6, mereka sudah mengenal tekstil yang dibuat menggunakan teknologi tenun, batik, atau sulam. Adapun penyebutan selendang dan ikat pinggang sulam mengindikasikan penggunaan aksesori dalam pakaian yang mereka kenakan.

Sumber mengenai kain sebagai bahan pakaian penduduk Jawa semakin kaya pada era Mataram Kuno, khususnya mulai abad ke-9. Namun sejauh ini belum ada yang memanfaatkannya secara komprehensif. Beberapa peneliti baru melakukan kajian parsial, baik dalam penggunaan sumber maupun batasan temporal.

Buku yang ditulis oleh Siti Maziyah ini berusaha mengisi kekosongan tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber prasasti, relief candi, arca, naskah susastra, berita asing sezaman, dan data etnografi, ia merekonstruksi teknik pembuatan dan fungsi kain pada masyarakat Jawa Kuno pada abad ke-9 hingga abad ke-15. Buku yang berasal dari disertasi pada Program Doktor Arkeologi Universitas Gadjah Mada ini juga membahas jenis-jenis kain dan pakaian yang diproduksi, digunakan, serta diperdagangkan pada periode tersebut.

Rekonstruksi dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni sejarah, filoarkeologi, dan etnoarkeologi. Menarik, pendekatan etnoarkeologi dipakai untuk melengkapi keterbatasan data prasasti dan susastra. Caranya dengan melakukan penelitian etnografi di Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, di mana sejumlah warganya masih mempertahankan tradisi pembuatan kain tradisional dan sejumlah istilah era Jawa Kuno.

Buku Kain di Jawa: Dari Era Mataram Kuno hingga Majapahit ini penting dibaca oleh para pencinta wastra dan busana tradisional, arkeolog, filolog, sejarawan, serta pencinta sejarah dan budaya. Dengan kekayaan data yang dimilikinya, ia dapat dijadikan referensi sahih mengenai sejarah kain dan pakaian, yang merupakan salah satu akar dari busana nasional Indonesia.