Tjipto Sang Pembangkang

Patung Tjipto Mangoenkoesoemo di Ambarawa, Kabupaten Semarang.

Oleh Rukardi

 Ia dikenal sebagai aktivis pergerakan radikal pada zamannya. Konsisten memperjuangkan nasib rakyat bumiputra dari dalam maupun luar gedung Volksraad.  

SIAPA sosok pemimpin Indonesia yang paling berpengaruh terhadap pemikiran politik Sukarno? Tjokroaminotokah? Dalam biografinya yang ditulis Cindy Adam, Si Bung Besar memang mendaku diri sebagai murid dan pemuja Pak Tjokro, tapi rupanya pemimpin Centraal Sarekat Islam yang juga bapak kos dan bekas mertuanya itu bukanlah patronnya di dunia politik. Menjawab pertanyaan George McT. Kahin dalam sebuah wawancara pada 1959, Sukarno dengan tegas menyebut sosok itu adalah Tjipto Mangoenkoesoemo.

Dibanding tokoh-tokoh pergerakan yang lebih muda, Tjipto memang kalah gahar. Namun lelaki kelahiran Ambarawa pada 1886 itu punya peran penting sebagai penggerak nasionalisme generasi awal. Ia yang tak puas dengan konservatisme Boedi Oetomo (BO), memilih bergabung dengan Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat dalam Indische Partij. Organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di Hindia Belanda yang berazas nasional itu mengusung slogan “Indische los van Holand” (Hindia bebas dari Belanda).

Semasa studi di STOVIA (sekolah dokter bumiputra), Tjipto dikenal sebagai siswa yang cemerlang tapi punya watak pembangkang. Watak ini terus terbawa, baik saat bekerja sebagai dokter, tenaga administrasi, maupun ketika menjadi jurnalis dan terjun di dunia politik. Pembangkangan yang kasat mata dari Tjipto terlihat dari penampilan dan gaya hidupnya yang sederhana. Beda dari kebanyakan priyayi Jawa masa itu, sehari-hari ia memilih berpenampilan ala kaum kromo alias rakyat jelata: mengenakan surjan bermotif lurik, kain dan udheng dari bahan jarik, serta merokok klembak menyan.

Lulus dari STOVIA pada 1905, Tjipto bekerja sebagai dokter pemerintah dan ditugaskan untuk memberantas wabah penyakit pes di Malang. Dokter muda ini sukses menjalankan pekerjaannya hingga mendapat penghargaan Willem Klas 3. Namun penghargaan itu ditolaknya.

Suatu kali, Tjipto juga pernah secara demonstratif mengendarai kereta yang ditarik dua ekor kuda mengelilingi Alun-alun Demak dan Surakarta, tindakan yang pada masa itu hanya boleh dilakukan oleh pejabat tinggi sekelas bupati dan raja. Gaya dan perilaku semacam itu merupakan bagian dari gugatan terhadap feodalisme Jawa yang sangat dibencinya.

Selain feodalisme Jawa, Tjipto juga kritis terhadap praktik kolonialisme yang menindas. Daya kritis itu ia tunjukkan, baik dalam bentuk tulisan di media massa maupun sikap dan tindakan politiknya. Ketika Indische Partij dilarang pemerintah pada Maret 1913, Tjipto tetap bergerak. Bersama Soewardi, ia membentuk Comite Boemipoetra, sebuah komite yang memohon kepada Ratu Belanda untuk membentuk parlemen dan mengizinkan pendirian partai-partai politik di Hindia Belanda. Comite Boemipoetra juga menerbitkan pamflet Soewardi berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan memuatnya di De Express edisi 13 Juli 1913. Tulisan itu dibuat untuk mengecam peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis di Hindia Belanda.

Ketika Soewardi dipersalahkan atas tulisan tersebut, Tjipto gigih membelanya. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum yang mengkhawatirkan dampak tulisan Soewardi segera menggunakan hak Exorbitante Rechten yang dimilikinya. Ia pun memaksa tiga serangkai yang membangkang itu: Soewardi, Tjipto, dan Ernest Douwes Dekker menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda. Namun alih-alih luruh, mereka seperti dipaparkan Harry A. Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1609-1950, memanfaatkan masa hukuman itu untuk memperluas jejaring, melanjutkan studi, dan melakukan propaganda politik khususnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Belanda.

Tjipto tak lama di Belanda. Ia yang menderita asma dan kelainan syaraf akhirnya dipulangkan terlebih dahulu ke Tanah Air. Suami Marie Vogel itu lalu kembali aktif di dunia politik dan bergabung dengan Insulinde.

Ketika terpilih menjadi anggota Volksraad (dewan rakyat Hindia Belanda), Tjipto memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX menuturkan, di dalam dewan rakyat itu Tjipto mengkritik berbagai permasalah sosial yang terjadi di Tanah Hindia, mulai dari diskriminasi rasial dalam tubuh angkatan darat, perbedaan hak asasi perempuan di tanah jajahan, hak-hak kewarganegaraan, prasangka-prasangka terhadap masyarakat bumiputra, Tionghoa, Timur Asing, dan Eropa, serta ketidakpastian nasib buruh bumiputra dibanding rekan kerja mereka dari golongan Eropa.

Saat berpidato di Volksraad pada 20 Februari 1919, Tjipto mengecam kebijakan perluasan areal perkebunan tebu di Jawa yang berdampak pada penurunan produksi beras, hingga memicu terjadinya kelaparan. Kakak kandung pendiri BO, Goenawan Mangoenkoesoemo itu mengusulkan pengurangan areal tanaman tebu sebanyak 25 persen serta membebaskan petani menentukan luasan lahan yang mereka tanami tanaman pangan selama musim kemarau.

Suatu kali, Tjipto juga mengusulkan agar pemerintah memberi insentif kepada Raja Surakarta atau menyerahkan kembali wilayah Madiun dan Kediri kepada keraton. Tujuannya agar raja memiliki sumber penghasilan dan tak membebankannya secara penuh kepada rakyat. Lantaran tak mendapatkan respons, Tjipto bersama rekan-rekannya di Insulinde kemudiam turun ke bawah untuk melakukan penyadaran politik kepada warga di desa-desa. Pada 1919, terjadi pembangkangan warga di sejumlah desa di Surakarta, antara lain Nglungge, Giran, dan Dimoro terhadap kerja wajib yang dibebankan kepada mereka. Tjipto menjadi tersangka utama, dan ia sekali lagi dipaksa menjalani hukuman pembuangan di luar wilayah berbahasa Jawa. Ia memilih Bandung dan menepi dari hiruk-pikuk dunia pergerakan. Keanggotaannya di Volksraad pun dicabut paksa.

Saat Tjipto vakum, dunia pergerakan telah melahirkan banyak aktivis muda yang labih berani dan radikal. Sebagaian dari mereka terjun ke medan berbahaya itu lantaran terinspirasi oleh sepak terjang dan pemikiran Tjipto Mangoenkoesoemo. Maka ketika pemberontakan 1926-1927 pecah di Banten dan Sumatera Barat, Tjipto yang sesungguhnya tidak terlibat secara langsung di dalamnya turut ditangkap. Pada 16 Desember 1927, ia dibuang ke Banda Neira.

Sepulang dari tanah pembuangan, Tjipto kembali rehat dari dunia politik. Namun peristiwa pendudukan Belanda oleh Jerman pada 1940 membangkitkan semangatnya kembali. Ia yang antifasis, berbalik mendukung Belanda dalam perlawannya terhadap Jerman. Di rumahnya di Sukabumi, Tjipto memfasilitasi pembentukan Gerakan Anti Fasis (Geraf) yang diketuai Amir Sjarifuddin. Saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, Tjipto menolak ajakan kawan seperjuangannya, Soewardi Soerjaningrat untuk bergabung dengan organisasi bentukan Dai Nipon, Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Sayang sekali, Tjipto tak sempat melihat dan merasakan kemerdekaan bangsa yang turut diperjuangkannya. Ia meninggal pada 8 Maret 1943 dan dimakamkan di tanah kelahirannya, di kompleks kuburan keluarga yang berada di sebuah bukit kecil di pusat kota Ambarawa. Tjipto beristirahat dengan tenang bersama kedua orangtua, istri dan anak tercinta, adik-adik, dan kerabat lainnya.

Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya, pemerintah mengabadikan nama Tjipto sebagai nama rumah sakit umum pusat di Jakarta yang sebelumnya berjuluk Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ). Nama itu mulai digunakan bertepatan dengan peringatan HUT kemerdekaan RI, 17 Agustus 1964. Tak hanya itu, nama Tjipto juga digunakan sebagai nama jalan utama di banyak kota di Indonesia, tak terkecuali di kota kelahirannya, Ambarawa. Awal 2018, sebuah patung diri Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo setinggi empat meter dibangun di pertigaan Pasar Gamblok, sekitar 300 meter dari tempat peristirahatan terakhirnya.

Tinggalkan komentar