Lebaran di Jawa pada Zaman Baheula

Foto : Perempuan-perempuan Jawa membuat kue Lebaran pada tahun 1920-an.

Lebaran di Jawa pada Zaman Baheula

Oleh Rukardi

Selama berabad-abad, umat Islam di Jawa merayakan Lebaran dengan berbagai cara. Tetap semarak dalam situasi apapun.   

SEJAK kapan ada perayaan Idul Fitri di Jawa? Sependek pengetahuan saya, tidak ada dokumen sahih yang bisa dirujuk untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, mengingat pertaliannya yang erat dengan ritus keislaman, kita patut menduga, perayaan Idul Fitri sudah dilakukan sejak terbentuk komunitas muslim pertama di Tanah Jawa. Kapankah itu? Jika merujuk temuan artefak Islam tertua, sekitar abad ke-11 Masehi. Jika didasarkan pada fakta keberadaan komunitas muslim, paling tidak pada era Majapahit.

Lepas dari problem awal mula, yang pasti perayaan Idul Fitri mulai dilembagakan pada masa Kesultanan Demak. Pelembagaan itu dalam bentuk ritual garebeg. Sayang, tak banyak informasi mengenai penyelenggaraan garebeg pada era ini. Garebeg, ujar Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, adalah tradisi lama yang telah berkembang pada masa pra- Islam, atau sejak abad ke-14. Salah satu fungsinya adalah sebagai sarana untuk menegakkan kekuasaan raja atas daerah-daerah vasal. Pada perayaan garebeg, para pemimpin daerah datang ke keraton untuk menyerahkan upeti sekaligus unjuk kesetiaan. Sebagai penyemarak acara, digelar keramaian untuk rakyat di alun-alun kerajaan.

Kesultanan Demak dan penerusnya, Pajang lalu Mataram, mengadopsi garebeg era Majapahit. Meski demikian, mereka tak banyak mengubah format tradisi itu. Para sultan hanya memberi sedikit sentuhan keislaman di dalamnya. Dari sisi waktu pelaksanaan, misalnya, garebeg era kesultanan digelar tiga kali setahun pada hari-hari besar Islam, yakni Maulud Nabi (Garebeg Mulud), Idul Fitri (Garebeg Pasa atau Syawal), dan Idul Adha (Garebeg Besar). Dinamakan Garebeg Pasa, karena dilaksanakan di pengujung bulan Ramadan dan sekaligus menandai berakhirnya ibadah siyam. Dua keraton besar penerus Mataram Islam, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, masih menjalankan tradisi itu hingga sekarang. Seperti ritus-ritus keraton yang lain, pelaksanaan Garebeg Pasa mengikuti aturan yang telah dibakukan. Aturan itu dibuat, antara lain pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwana III (1812- 1814).

Lalu bagaimana dengan suasana Idul Fitri di luar ibu kota kerajaan? Masyarakat Jawa, khususnya di daerah-derah yang terpengaruh kuat tradisi Islam, menyambut hari kemenangan dengan penuh suka-cita. Mereka menyiapkan makanan khusus yang dihidangkan untuk anggota keluarga, para tamu, dan tetangga. Salah satu makanan khas Lebaran yang hingga kini masih disajikan di rumah-rumah keluarga Jawa adalah ketupat.

HJ de Graaf dalam Malay Annal, seperti dikutip Historia, memaparkan, ketupat sudah menjadi simbol perayaan hari raya Islam pada masa Kesultanan Demak (awal abad ke-15). Graaf menduga, kulit ketupat yang terbuat dari janur itu untuk menegaskan identitas budaya pesisiran, di mana tanahnya ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning janur dimaknai sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dengan merah dari Asia Timur.

Dari pesisir utara Jawa, ketupat diyakini menyebar ke pedalaman melalui para pendakwah Islam, Walisanga. Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali yang dihormati itu, bahkan menggunakan ketupat sebagai medium dakwah yang akulturatif. Ia menjadikan makanan berupa nasi padat yang dibungkus daun muda pohon kelapa tersebut ikon dalam tradisi syawalan, yakni perayaan yang menandai berakhirnya puasa wajib pada bulan Ramadan dan puasa sunah setelah Lebaran.

***

Antusiasme masyarakat Jawa dalam menyambut Lebaran sudah terlihat sejak berabad-abad silam. Hal itu dibuktikan oleh kesaksian Willem Lodewycksz, kartolog dan penulis Belanda yang turut dalam pelayaran armada Cornelis de Houtman ke Hindia Timur pada 1596. Seperti termaktub dalam Sejarah Nasional Indonesia III karya Sartono Kartodirdjo dkk, ketika rombongan de Houtman singgah di Banten, kebetulan saat itu menjelang Lebaran. Lodewycksz melihat suasana ibu kota kesultanan begitu semarak. Masyarakat sibuk membuat pakaian baru untuk dikenakan pada hari kemenangan. Demikian sibuk, tulis Lodewycksz, hingga seolah-olah semua orang menjadi tukang jahit. Menjelang pelaksanaan shalat Idul Fitri, beduk di masjid kesultanan yang berada di alun-alun dipukul bertalu-talu. Pemukulan beduk dengan cara serupa dilakukan selama bulan Ramadan, khususnya pada malam hari menjelang sahur.

Di Jepara, warga menyemarakkan Idul Fitri dengan tradisi Lomban. Dalam artikel berjudul ”Het Pada Loemban Feest Te Japara” di Tijdschrift voor Nederlandsch-IndiÎ (TNI) yang terbit pada 1868, tradisi itu digambarkan secara mendetail. Pagi hari, sepekan setelah 1 Syawal, penduduk memenuhi pesisir Jepara. Mereka menumpang ratusan perahu dan bergerak ke Laut Jawa. Tak lama, perahu-perahu berhias ketupat, bunga-bunga, dan boneka kedawangan itu saling mengejar. Dalam batas jangkauan, orang-orang di atas perahu saling menembak menggunakan pistol kosong, serta beradu lempar ketupat, kolang-kaling, mercon, dan telur busuk. Pertempuran massal pecah. Suara tawa dan keluh bersahut-sahutan.

Hiruk-pikuk itu baru berakhir saat kawanan perahu sampai di Pulau Encik Lanang. Begitu mendarat, para ”ksatria laut” yang garang berubah tenang. Sebagian dari mereka malih rupa menjadi koki dan memasak makanan. Sebagian lainnya memilih cara praktis, membeli kudapan dari pedagang dadakan. Sejurus berikutnya, orang-orang yang didera lelah dan lapar itu suntuk menikmati makan siang.

Seperti dikutip Dr Alamsyah MHum dalam ”Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara: Studi Komparasi Akhir Abad ke-19 dan Tahun 2013”, artikel dalam TNI merupakan sumber Eropa tertua yang memaparkan ihwal tradisi Lomban. Menarik, sang penulis artikel menyebut bahwa pada saat itu, Lomban yang menjadi bagian dari tradisi Syawalan, tak terjumpai di daerah lain. Itu artinya, Lomban dan Syawalan di Jepara patut diduga sebagai pelopor tradisi serupa di banyak kota pesisir di Pulau Jawa. Lomban tahun 1868, diikuti oleh bupati, kaum bangsawan, serta para pejabat Belanda. Mereka turut berperahu hingga ke pulau seberang. Bersama warga, mereka juga menziarahi makam Melayu yang terdapat di pulau itu. Adapun peserta Lomban tak terbatas pada warga lokal. Sebagian dari mereka datang dari luar kota, seperti Semarang, Juwana, dan Rembang.

Empat belas tahun kemudian, atau pada 1882, PJ Veth, juga menulis tentang tradisi Lomban. Dalam buku Jawa: Geographisch, Ethnologisch, Historisch, Guru Besar Universitas Leiden itu mencatat, tradisi Syawalan telah berkembang dan terjumpai di beberapa kota pesisir di Pulau Jawa. Namun, kata Veth, seperti dikutip Alamsyah, perayaan Syawalan di tempat lain baru sebatas pada slametan atau sesaji ketupat. Secara umum, prosesi Lomban 1868 dengan tahun 1882 hampir serupa. Kini, pesta Lomban masih digelar rutin, setahun sekali pada sepekan setelah Lebaran.

Kemeriahan yang sama terlihat di Bandung pada awal abad ke-20. Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran Prof Dr Nina H Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, memaparkan, perayaan Idul Fitri yang jatuh pada 13 April 1926 diawali dengan salat Id pada pagi hari.

Bupati RAA Wiranatakoesoemah V menjalankan salat sunah dua rekaat itu di Masjid Agung Bandung. Seusai sembahyang, bupati diantarkan kembali oleh para bawahan ke Kabupaten untuk menjalani prosesi munjungan. Dimulai dari para istri, anak-anak, dan kerabat, kemudian dilanjutkan oleh para menak. Mereka mengucapkan selamat hari raya dengan cara mencium kaki bupati.

Menjelang siang, digelar resepsi di Kabupaten. Pada kesempatan itu residen atau asisten-residen, atas nama penduduk nonbumiputra menyampaikan ucapan selamat hari raya. Beragam hidangan lezat pun disajikan kepada para tamu, termasuk minuman champagne. Sementara itu, di alun-alun diadakan keramaian untuk hiburan rakyat.

***

Catatan-catatan lama mengenai perayaan Lebaran di Jawa memang selalu diliputi nuansa kegembiraan. Bahkan di tengah krisis politik dan ekonomi sekalipun, kegembiraan itu tetap muncul. Seperti saat terjadi The Great Malaise pada 1929, rakyat tetap merayakan Lebaran dengan suka cita.

Umat Islam di Batavia, misalnya, untuk kali pertama justru menggelar shalat Idul Fitri di lapangan terbuka, yakni di Koningsplein (sekarang Lapangan Monas).

Begitu pun perayaan Lebaran pada tahun-tahun berikutnya, ketika dampak krisis ekonomi masih terasa. Hal itu terekam dalam goresan pena perempuan pelancong asal Inggris Harriet W Ponder. Ia yang mengunjungi Hindia Belanda pada tahun 1930- an menggambarkan kemeriahan Lebaran dari penampilan dan ragam pakaian yang dikenakan warga. Dalam buku Javanese Panorama: More Impressions of The 1930’s, seperti dikutip Achmad Sunjayadi, ia menulis:

”Lebaran adalah peristiwa yang penuh kegembiraan dari semua peristiwa yang dapat dilihat di Jawa. Semua orang mengenakan pakaian baru. Warna-warni pakaian yang mereka kenakan seperti taman bunga di pegunungan. Kaum perempuan mengenakan sarung beraneka corak dan beraneka warna. Merah, hijau, biru, kuning. Mereka juga mengenakan badjoe yang juga beraneka warna, merah, hijau,biru, kuning serta corak bunga. Terbuat dari bahan sutera atau muslin (kain tipis untuk tirai). Beberapa gadis muda mengenakan kodoengan yang terbuat dari chiffon (kain sutra tipis) dan dibordir. Para gadisitu juga ‘memutihkan’wajahnya dengan bedak. Mereka ada yang berpasang-pasangan, bergandengan tangan. Sementara itu kaum pria mengenakan sarung atau kain dengan baju atau kemeja dari bahan drill berwarna khaki, putih. Beberapa mengenakan sandal bahkan ada yang berjalan sambil menenteng sandal di tangannya. Kebanyakan kaum perempuan yang melakukannya.”

Menjelang akhir masa kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda ikut memfasilitasi perayaan Idul Fitri. Pada hari H Lebaran tahun 1939, misalnya, mereka mengerahkan tram tambahan dari Meester Cornelis (Jatinegara) dan Benedenstad (Kota Tua Jakarta). Tujuannya untuk memudahkan transportasi warga yang hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di Waterlooplein (Lapangan Banteng). Dalam perhelatan itu, pemerintah juga mengizinkan penggunaan pengeras suara. Maka takbir dan tahmid pun menggema di langit Batavia.

Tinggalkan komentar