Kisah Foto yang Menolak Mooi Indie

Foto: Para pendiri IPPHOS tanpa Frans Mendur, berpose di depan kantor mereka, dari kiri ke kanan: Frans Umbos, Alex Mendur, Justus Umbas, dan Alex Mamusung.

Kisah Foto yang Menolak Mooi Indie

Oleh Rukardi

IPPHOS berjasa besar dalam mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting pada masa revolusi. Selain menjadi bukti sejarah, foto-foto mereka juga melawan propaganda pemerintah Belanda.  

AWAL Juli 2012, terjadi kegaduhan kecil di Belanda tersebab serangkaian artikel berfoto di de Volkskran. Selain membuat syok, artikel dan foto-foto di koran kenamaan itu menyadarkan warga negeri Kincir Angin terhadap sejarah kelam nenek-moyang mereka.

Semua bermula dari penemuan album foto usang secara tak sengaja di sebuah tempat pembuangan sampah di Kota Enschede. Sang penemu, seorang pegawai pemerintah setempat, semula tak menyadari keistimewaan foto-foto di album lusuh itu. Dia baru terpana ketika membuka album dan menemukan beberapa lembar foto eksekusi warga sipil yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Misteri pembantaian keji itu sedikit terkuak ketika identitas pemilik album diketahui. Dia adalah Jacobus R., bekas prajurit wajib militer yang tergabung dalam resimen artileri lapangan, atau lebih dikenal sebagai Regiment Veldartillerie (RVA). Tahun 1947 hingga 1950 Jacobus bersama prajurit RVA lain dikirim ke Jawa untuk mengatasi pergolakan pasca-serah terima kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu. Seperti kita tahu, pada masa itu, Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaannya di tanah Hindia, melakukan dua kali operasi militer. Pemerintah Belanda menyebutnya politionele actie, sedangkan Indonesia menganggap sebagai agresi militer.

Kendati demikian, aksi pembantaian massal yang terpapar di album prajurit Jacobus tak sepenuhnya terungkap. Pakar dari Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD) maupun Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH) tak mengenali insiden memilukan itu. Selama ini mereka hanya mencatat dua pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia pasca-Perang Dunia II, yakni di Rawagede, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Dengan membuka catatan sejarah resmi batalyon RVA, mereka hanya bisa menduga, pembantaian itu terjadi di daerah Jawa Barat, tapi bukan peristiwa Rawagede.

Memang, selama ini Belanda berupaya menutupi kisah kelam yang terjadi di Indonesia, terutama pada masa revolusi fisik. Mereka baru mengakui setelah kalah dalam proses gugatan di pengadilan, seperti dalam kasus Rawagede. Kurikulum pendidikan sejarah di negeri itu juga tak membahas secara detail apa yang terjadi di Indonesia pada 1945-1949. Seperti Jepang di sejumlah negara Asia dan Indonesia di Timor-timur, Belanda  ingin membungkus rapat aib sejarah mereka di negeri jajahan.

Upaya menutupi kejahatan perang bahkan telah dilakukan sesaat setelah kejadian berlangsung. Pemerintah melalui aparat intelijen dan dinas militer mereka di Indonesia menyeleksi foto-foto perang pada masa penuh gejolak itu, terutama pasca-Agresi Militer I (1947) yang hendak dikirim oleh para pewarta foto ke kantor redaksi media di Belanda. Foto-foto yang dianggap dapat merusak citra mereka dalam perang itu disensor. Ihwal penyensoran terungkap ketika pada 2009, René Kok, Erik Somers dan Louis Zweers menerbitkan Koloniale Oorlog: 1945-1949; van Indie naar Indonesie (Perang Kolonial: 1945-1949; Dari Hindia Belanda ke Indonesia). Dalam buku tersebut, mereka memuat foto-foto subversif yang disensor oleh pemerintah. Ada foto interograsi dan penyiksaan milisi Indonesia oleh tentara Belanda, foto suasana enterniran dan orang-orang Belanda yang menjadi tawanan Jepang, jasad dua marinir Belanda tergeletak di atas tanah dengan luka sabetan parang di kepala, serta foto Sukarno dan Fatmawati yang disambut gegap-gempita oleh rakyat di Yogyakarta.

***

Dalam situasi politik semacam itulah karya awak Indonesian Press Photo Service atau disingkat IPPHOS menemukan konteksnya. Foto-foto jurnalistik Alex Mendur, Frans Mendur, Justus Umbas, Frans Umbas, Alex Mamusung, Oscar Ganda, dan Malvin Jacob menjadi semacam antitesis terhadap foto propaganda pihak Belanda. Kalau boleh beranalogi, awak IPPHOS ibarat para pelukis yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Mereka dengan sadar menolak langgam mooi Indie yang selama berabad-abad ditanamkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Frans Mendur dan kawan-kawan, melalui karya jurnalistik mereka, berusaha menampilkan citra Indonesia sebagai republik baru yang penuh semangat. Dalam foto-foto yang terangkum di buku IPPHOS Remastered Edition karya Yudhi Soerdjoatmodjo, citra itu terlihat kentara. Awak IPPHOS berhasil memunculkan dinamika yang sesungguhnya terjadi di Indonesia pada masa penuh gejolak tersebut.

Selain menyajikan peristiwa penting dalam proses pembentukan Republik Indonesia, mulai dari proklamasi kemerdekaan, rapat raksasa di Lapangan Ikada, Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, hingga penyerahan kedaulatan RI, IPPHOS juga memproduksi foto-foto perlawanan gigih milisi rakyat bersama TNI di front terdepan. Ada peristiwa Bandung Lautan Api, Pertempuran Surabaya, Karawang-Bekasi, serta perlawanan terhadap agresi militer Belanda.

Pembentukan citra Republik muda tampaknya dilakukan secara sadar oleh awak IPPHOS. Mereka melawan propaganda kolonial melalui foto-foto yang bercorak Indonesia sentris. Para pemimpin Republik, terutama Sukarno, Hatta, Sjahrir, Soedirman dan Sultan Hamengku Buwono IX ditampilkan penuh wibawa dan kharisma. Ke mana pergi, mereka selalu disambut gegap-gempita oleh rakyatnya. Selain rakyat Jawa, Bali, dan Sumatera, para pemimpin itu juga didukung oleh etnis lain yang cenderung diasumsikan sebagai antek kolonial, seperti Minahasa, Maluku, dan Tionghoa. Tak lupa IPPHOS memotret pasukan sukarelawan dari India, Malaysia, Philipina untuk menunjukkan dukungan internasional terhadap Republik Indonesia. Sampai di sini foto-foto IPPHOS memosisikan diri sebagai medium diplomasi yang efektif untuk melawan propaganda pemerintah kolonial.

Ya, IPPHOS, bersama Antara dan Berita Film Indonesia atau BFI bisa disebut sebagai pelopor penggunaan foto sebagai alat perjuangan dan diplomasi. Para aktivis pergerakan nasional tahun 1920-an belum memanfaatkannya. Selain pemogokan dan pemberontakan, mereka menggunakan tulisan di media massa untuk menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Barangkali Belanda sejak awal telah menyadari bahaya laten fotografi sehingga tak terlalu antusias memperkenalkannya kepada masyarakat bumiputera. Teknologi fotografi dikuasai secara eksklusif oleh orang-orang Eropa serta sedikit orang Tiongkok dan Jepang. Survei fotografer dan studio foto komersial di Hindia Belanda 1850-1940 menunjukkan, dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, 315 dimiliki oleh orang-orang bernama Eropa, 186 orang bernama Tiongkok, 45 orang bernama Jepang dan hanya empat orang bernama lokal. Mereka adalah Kassian Cephas di Yogyakarta, A Mohamad di Batavia, Sarto di Semarang, dan Najoan di Ambon. Jika teknologi fotografi telah sampai di Hindia Belanda sejak 1841 (dibawa oleh Juriaan Munich), berarti butuh waktu sekitar satu abad untuk sampai ke tangan segelintir orang Indonesia. Itupun baru digunakan untuk kepentingan komersial.

Fotografi baru menjadi alat propaganda politik yang efektif pada masa pendudukan Jepang. Rezim militer menggunakannya sebagai sarana propaganda untuk kepentingan perang di Asia Raya. Mereka merekrut pewarta foto dari kalangan Indonesia, tak terkecuali Mendur Bersaudara. Alex bekerja di kantor berita Domei, Frans di Koran Asia Raja.

Harus diakui, foto mengandung kekuatan yang tak bisa diremehkan. Soal ini kita bisa berkaca pada karya fotografer Associated Press Eddie Adams yang memenangkan penghargaan Pulitzer tahun 1969. Foto itu memapar aksi koboi Kepala Kepolisian Vietnam Selatan Jenderal Nguyen Ngoc Loan yang menarik pelatuk pistol dan menodongkannya ke kepala seorang komandan gerilyawan Vietkong. Setelah dimuat di sejumlah media ternama, foto itu ternyata mampu mempengaruhi opini publik Amerika Serikat terhadap Perang Vietnam. Di luar dugaan, foto Eddie Adams memicu gerakan antiperang dan menginspirasi lahirnya generasi bunga (The Flower Generation).

***

IPPHOS Remastered, memuat sekitar 150 foto koleksi lembaga yang resmi dibentuk pada 2 Oktober 1964 itu. Itu jumlah yang sangat kecil dibanding keseluruhan koleksi yang mencapai ratusan ribu. Tentu sangat tidak mudah menyeleksi foto sebanyak itu. Dan hemat saya, Yudhi telah melakukan tugasnya dengan baik.

Untuk mempermudah proses seleksi, dia memilih fokus pada karya-karya yang dibuat pada masa revolusi. Pilihan itu tidak hanya efektif, namun juga tepat. Mengapa? Karena memang pada kurun waktu itulah karya Frans Mendur dan kawan-kawan mencapai masa puncak. Banyak momentum penting bangsa ini yang didokumentasikan dengan baik oleh IPPHOS. Foto-foto itu menjadi sangat bernilai karena memberikan informasi sejarah kepada generasi kemudian. Terlebih foto-foto sezaman koleksi Antara dan BFI telah dimusnahkan menyusul ontran-ontran politik tahun 1965.

Meski demikian bukan berarti foto-foto pascarevolusi koleksi IPPHOS bernilai lebih rendah. Foto-foto periode itu tetap memiliki daya tarik, mengingat banyak peristiwa sejarah yang belum sepenuhnya terungkap. Peristiwa 1965 misalnya. Seperti kita tahu, hingga kini peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya yang diikuti oleh pembantaian jutaan simpatisan Partai Komunis Indonesia itu masih berselubung misteri. Dampak politik dan sosialnya pun masih dirasakan hingga kini. Publikasi foto periode pascarevolusi perlu dilakukan. Selain membuka wawasan, foto-foto itu diharapkan menjadi sumber penelitian baru untuk membuka lorong-lorong sejarah yang masih gelap.

Memang, sebagian koleksi IPPHOS pernah dipakai untuk bahan penyusunan buku, salah satunya serial 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1960, 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1960-1975, dan 40 Tahun Indonesia Merdeka: 1975-1985. Di serial buku terbitan Sekretariat Negara itu, foto IPPHOS bersama foto dari institusi lain, diposisikan sebagai sumber penting. Namun sayang, buku sejarah yang disusun oleh Ginanjar Kartasasmita, A Prabowo, dan Bambang Kesowo tersebut lebih tampak sebagai alat propaganda rezim. Pemilihan foto disesuaikan kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

Menyedihkan, ada foto yang tampaknya sengaja diputarbalikkan faktanya, yakni foto tentang Peristiwa Madiun tahun 1948. Dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1960, Ginanjar dan kawan-kawan memajang dua foto pembantaian massal secara berdampingan. Foto pertama berobjek eksekusi mati yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap sekitar tujuh orang tawanan. Para tawanan yang seluruhnya juga laki-laki itu dibantai secara sadis menggunakan bayonet. Tubuh mereka yang terikat tali, bergelimpangan di dalam sebuah lubang galian. Foto kedua berobjek mayat-mayat bergelimpangan di lubang galian dalam keadaan terikat pula. Di bawah kedua foto yang kreditnya ditulis sebagai koleksi IPPHOS itu, penyusun buku mencantumkan keterangan: “Korban-korban keganasan PKI Madiun”.

Namun informasi berbeda saya dapatkan di buku Madiun 1948: PKI Bergerak karya Harry A Poeze. Foto pertama disebut sebagai koleksi KITLV, sedangkan foto kedua koleksi IPPHOS. Namun menurut Poeze, dua foto pembantaian massal itu merupakan peristiwa berbeda. Memang benar foto kedua merupakan korban keganasan PKI, dan Poeze mencantumkan keterangan gambar: “Tentang kekejaman PKI tidak banyak foto ditemukan. Foto di atas sering diterbitkan ulang.” Adapun foto pertama ternyata justru sebaliknya, yakni pembantaian anggota PKI di Magetan. Selain foto pertama itu, Poeze memasang 10 foto lain yang merupakan satu rangkaian peristiwa, mulai dari pemeriksaan dengan todongan senjata, pemindahan tawanan, penggalian lubang kuburan massal, hingga eksekusi menggunakan bayonet yang disaksikan oleh masyarakat umum.

Ihwal penyelewengan fakta dalam foto koleksi IPPHOS, dalam hal ini karya Frans Mendur juga dilakukan langsung oleh Soeharto. Itulah foto penjemputan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang baru pulang dari medan gerilya oleh Letkol Soeharto. Pada saat Soeharto berkuasa, dia mencetak foto itu dalam ukuran besar dan dipajang di ruang kerjanya di Binagraha. Namun berbeda dari karya Frans Mendur asli, Soeharto menghilangkan sosok Sjafruddin Prawiranegara yang terdapat di bagian kiri foto. Apa pasal? Soeharto rupanya tak menyukai mantan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia itu karena pernah mengingatkan untuk tak terlalu terpukau oleh modal asing.

Nasib IPPHOS, seperti diungkap Oscar Matuloh dalam catatan penutup buku IPPHOS Remastered, surut memasuki masa Orde Baru. Rezim militeristik yang mengusung semangat desoekarnoisasi itu tak memberi ruang tumbuh bagi karya jurnalistik Mendur dan kawan-kawan. Faktor lain kemunduran itu adalah aktivitas awak IPPHOS, terutama Frans Mendur di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau biasa disingkat Lekra. Memang tak begitu banyak sumber yang mengungkap sepak terjang Frans di Lekra.

Selain kesaksian Tien Sumartini Mendur yang dituturkan kepada portalkbr.com, ihwal tuduhan PKI kepada ayahnya, jejak Frans di Lekra disinggung dalam harian Purnama edisi 6 Oktober 1968. Seperti dikutip Ahmad Nashih Luthfi dalam buku Manusia Ulang-alik; Biografi Umar Kayam, Frans seorang tokoh Lekra dan pengurus Persatuan Importir dan Distributor Film Nasional (Pidfin) yang pada musyawarah besar PAPFIAS atau Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat diberi mandat sebagai ketua panitia. Dia dikenal paling gigih menolak kebijakan yang mengaitkan antara impor film dengan kepentingan produksi film nasional.

Tinggalkan komentar