Kutipan Buku Melayap ke Nusantara (Kompasiana)

Dimuat di Kompasiana, 6 Maret 2022

Kondisi Tanah dan Kebiasaan di Jawa
Berdasarkan Catatan Perjalanan Ong Tae Hae

Oleh Shri Werdhaning Ayu

Judul: Melayap ke Nusantara: Catatan Perjalanan Seorang Pengelana Tiongkok pada Akhir Abad ke-18
Penulis: Ong Tae Hae
Editor: Rukardi
Penerbit: Sinar Hidoep, Semarang
Cetakan: Pertama, Januari 2022
Tebal: 206 halaman
ISBN: 978-602-61966-8-2

TULISAN ini didasarkan pada buku terjemahan catatan perjalanan Ong Tae Hae yang berjudul Melayap ke Nusantara. Karya anak bangsa loh. Masih belum banyak memang, buku terjemahan catatan perjalanan asing yang diterbitkan oleh anak bangsa sendiri.

Ong Tae Hae adalah seorang pengelanan dari Tiongkok dari abad ke-18 dan seperti biasa, rutin dan rajin menuliskan apa yang ia temui, lihat, amati, dan ia rasakan.

Kondisi Tanah dan Kebiasaan di Jawa 

  1. Negeri Bernama Batavia

Ong Tae Hae menulis bahwa Batavia adalah negerinya orang Jawa. Negeri ini memiliki pesisir yang di dalamnya tinggal orang-orang Belanda dengan jumlah tidak lebih dari sepersepuluh total populasi. Jumlah orang Jawa ratusan kali jumlahnya dibandingkan dengan orang Belanda.

Penduduk lokal digambarkan sebagai masyarakat yang sederhana dan sopan, tetapi bodoh dan membosankan (Deskripsi ini berbeda kalau dibandingkan dengan catatan Tome Pires,  Suma Oriental tentang penggambaran orang Jawa yang pemarah dan angkuh).

Berikutnya adalah orang Jawa bersifat lembek, lemah, dan secara alamiah penakut, terutama kepada orang-orang Eropa. Mereka akan mengucapkan salam setiap kali nama mereka disebut dan menunjukkan sikap yang jelas antara hamba dengan tuan.

Kapan pun orang yang status sosialnya lebih rendah bertemu  dengan yang  status sosialnya lebih tinggi, mereka akan  melakukan gerakan menyembah atau sujud, yakni gerakan menekuk lutut seraya menakup kedua telapak tangan.

Saya rasa pengaruh kolonialisme pada abad  ke-18 sudah sangat masuk ke segala sendi masyarakat, sehingga jelas menghasilkan deskripsi berbeda dengan yang dijabarkan Tome Pires yang berasal dari abad-14 atau ke-15 (Koreksi di komentar jika teman-teman mengerti abadnya).

Pada abad-abad sebelumnya, pada masa kesultanan, disebutkan bahwa meskipun bangssa-bangsa Barat sudah memasuki wilayah Nusantara, seperti Banten atau Aceh, tetapi posisi mereka masih sebagai kongsi dagang yang menawarkan kesepakatan kerja sama  dengan penguasa lokal.

Jika teman-teman ingin tahu, bisa cek tulisan saya yang mengulas perdagangan lada antara Kesultanan Banten dengan VOC.

Perubahan drastis, dapat dilihat, utamanya  pasca-Batavia dikuasai oleh VOC, yang kemudian merambat ke segala arah di Pulau Jawa.

Bangsa Barat tidak lagi  menjadi sekadar tamu asing yang harus tinggal di pesisir, di luar bentengg  kota, tetapi telah menjadi golongan dengan status sosial tinggi bagi masyarakat Jawa.

  1. Menanam Padi

Orang  Jawa tinggal di bukit-bukit dan lembah. Mereka hidup dengan mengolah ladang yang dipanen  setahun  sekali. Pada musim semi, ketika tanah penuh dengan air sesudah hujan, mereka menebar benih padi (Perlu diingat bahwa Ong Tae Hae berasal dari Tiongkok yang memiliki empat musim. Sepertinya Ia menyebut kondisi saat benih tersemai pascahujan turun sebagai musim semi). Benih-benih itu serta-merta tumbuh sendiri tanpa bantuan cangkul dan bajak.

Rumput-rumput liar tidak tumbuh dan tanaman  padi dapat menghasilkan dengan sendirinya. Setiap  tangkai berisi ratusan butir beras yang menyebabkan harga beras murah di wilayah ini.

Masyarakat Jawa juga  menanam padi di perbukitan dengan melubangi tanah menggunakan kayu dan memasukkan bibit ke dalamnya. Jika musimnya tepat, panen  yang didapatkan cukup melimpah (Apa kabar kita yang hidup di zaman modern?).

Padi tidak digiling, melainkan dimasukkan ke dalam bak kayu. Orang Jawa akan menggunakan alu untuk menumbuk butir-butir padi  tersebut hingga terpisah dari kulitnya.

Untuk memisahkan beras dan kulit sekamnya, orang Jawa akan menampinya hingga bersih. Beras Jawa berbeda dengan beras Tiongkok. Beras Jawa lebih panjang dan lunak.

  1. Rumah Orang Jawa

Rumah orang Jawa seperti paviliun yang terbuka di segala sisi. Tempat duduk berupa tikar yang digelar di tanah. Seluruh lantai ditutupi oleh tikar dan dilapisi permadani.

Ranjangnya tidak tinggi,  kasurnya empuk, dan bantal-bantalnya ditumpuk hingga menyerupai menara sebanyak enam hingga tujuh susun. Orang Jawa pada umumnya akan berjongkok atau bersila untuk menemui tamu, lalu saling bersalaman sesuai dengan kebiasaan.

Orang Jawa akan menghidangkan sirih kepada tamu sebagai wujud penghormatan. Wadah sirih milik orang kaya terbuat dari emas, sedangkan wadah sirih milik orang biasa terbuat dari kuningan. Tempat untuk menampung ludah berbentuk pot yang juga terbuat dari kuningan.

  1.  Laki-Laki dan Perempuan

Laki-laki dan perempuan dapat duduk bersebelahan tanpa dicurigai. Pada saat makan tidak menggunakan sumpit, tetapi menggunakan tangan. Orang Jawa mengonsumsi daging sapi, tetapi menghindari daging anjing dan babi.

Telapak kaki perempuan Jawa tidak diikat seperti perempuan Tionghoa. Wajah mereka tidak dipoles pewarna ataupun riasan. Tidak pula ada kuntum bunga yang disematkan di atas kepala. Gaun mereka tidak berkerah dan hanya mengenakan bawahan kain, bukan celana panjang.

Laki-laki mengenakan mantel berkerah dan menyematkan kuntum bunga di kedua sisi kepala. Laki – laki menggunakan celana panjang, bukan rok.

  1. Alam di Jawa

Segala jenis bunga dapat ditemukan sepanjang musim. Bunga dan buah bergantian muncul sepanjang tahun. Orang Jawa menggunakan nanas sebagai penurun panas.

Buah-buahan di sini terasa lebih lezat dibandingkan dengan yang ada di Kanton dan Hokkian. Tentu saja karena tanahnya berbeda. Sayuran mentah lebih disukai dibandingkan daging unggas dan itik. Biji-bijian tumbuh dengan mudah sehingga tidak ada yang membudidayakannya.

Orang Jawa  di Batavia menganggap angin sebagai penyakit, dan air sebagai obat. Semua yang terkena angin akan mengalami demam, dan untuk menyembuhkannya cukup mandi di sungai.

Tinggalkan komentar