Resensi buku Perawan Desa (Solopos)

Dimuat di Harian Solopos, 19 Desember 2021

Berkenalan dengan Anak Rohani W.R. Supratman

Oleh Ichwan Prasetyo

Judul : Perawan Desa
Penulis : W.R. Supratman
Editor : Rukardi
Penerbit : Sinar Hidoep, Semarang
Cetakan : Pertama, November 2021
Tebal : 127 halaman
ISBN : 978-602-61966-7-5

WAGE Rudolf Supratman atau W.R. Supratman bukan hanya komponis dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dia juga seorang jurnalis yang juga menulis karya sastra. Sangat sedikit yang tahu aktivitas dia di dunia sastra.

Sebagai jurnalis, W.R. Supratman menulis berita di sejumlah media, seperti Kaoem Moeda, Kaoem Kita, Biro Pers Alpena, dan Sin Po. Aktivitas kaum pergerakan dan kaum nasionalis adalah materi-materi yang sering ditulis W.R. Supratman di media-media itu.

Sejumlah literatur menyebut W.R. Supratman juga menulis karya sastra. Ia disebut menulis sedikitnya tiga novel, yaitu Perawan Desa, Darah Moeda, dan Kaoem Fanatiek. Salah satu roman yang ditemukan dokumennya adalah Perawan Desa.

Penerbit Sinar Hidoep yang berbasis di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, menerbitkan ulang novel Perawan Desa pada November 2021. Roman Darah Moeda tak terlacak lagi dokumennya.

Novel Kaoem Fanatiek pernah diiklankan di halaman depan buku novel Perawan Desa yang kali pertama diterbitkan Toko Indonesia pada 1929. Promosi novel Kaoem Fanatiek itu ditulis di halaman depan novel Perawan Desa.

Dalam ejaan sekarang promosi tersebut dalam kalimat: “bacalah buku Kaoem Fanatiek, suatu roman yang terjadi dalam suatu tanah partikelir di Batavia”. Kaoem Fanatiek adalah kisah tentang ”kekejaman seorang yang berharta, kebuasan seorang mandor yang jadi budak yang tidak merdeka, dan kecerdikan seorang penipu. Lebih jauh, bacalah bagaimana penghidupan kaum tani di Betawi, drama, dan kesengsaraan seorang gadis yang dirampas kemerdekaannya.”

Pengantar Penerbir Sinar Hidoep dalam buku cetakan pertama penerbitan ulang Perawan Desa menyimpulkan Kaoem Fanatiek tidak sempat diterbitkan dan diedarkan setelah pemberedelan Perawan Desa. Novel Darah Moeda juga tak dapat ditelusuri keberadaannya.

Dengan demikian, sejauh ini satu-satunya karya sastra W.R. Supratman yang terdokumentasi, bisa ditemukan, dan bisa diterbitkan ulang hanya Perawan Desa. Roman ini mengisahkan gadis dusun bernama Sitti Adminah. Ia tercerabut dari akar budayanya setelah mendapat pendidikan dan bergaul dalam lingkungan orang-orang Eropa.

Kritik terhadap Kolonialisme
Setelah lulus dari HBS di Batavia, Sitti punya rencana besar untuk masa depannya. Rencana itu berantakan karena tertipu seorang lelaki muda Belanda. Dalam novel ini W.R. Supratman mengekspresikan kritik keras terhadap kolonialisme.

Ia bicara tentang diskriminasi, segregasi sosial, dan penindasan. Novel ini juga mengandung kritik keras terhadap praktik korupsi yang menyengsarakan orang-orang kecil. Novel ini kemudian diberedel karena terang-terangan melontarkan gagasan tentang persatuan bangsa terjajah dan kemerdekaan.

Muatan novel yang demikin ini bagi pemerintah kolonial Belanda di bumi Nusantara masa itu dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Buku roman Perawan Desa kemudian disita aparat keamanan pemerintah kolonial Belanda. Buku-buku yang baru selesai dicetak dilarang beredar di pasaran.

Novel yang diterbitkan kali pertama pada 1929 ini belum sempat dijual di pasaran. Dalam dunia kesusastraan Indonesia novel ini tak pernah dibicarakan. Hampir seabad novel ini hilang dari blantika sastra Indonesia. Penerbit Sinar Hidoep di Kota Semarang bermaksud “menghidupkan” lagi semangat zaman yang diusung W.R. Supratman dalam novel Perawan Desa.

Penerbit bermaksud mengenalkan karya sastra yang sempat hilang beserta gagasan yang terkandung di dalamnya. Generasi yang hidup pada zaman sekarang diharapkan bisa belajar dari semangat zaman yang diabadikan W.R. Supratman dalam novel Perawan Desa.

Penerbitan baru novel Perawan Desa dimungkinkan karena di tengah kenyataan zaman ketika novel ini kali pertama terbit langsung diberedel dan tidak sempat diedarkan di pasaran, ternyata ada beberapa eksemplar yang lolos dari pemberangusan.

Beberapa eksemplar novel, oleh W.R. Supratman berhasil dikirimkan kepada kawan-kawan atau kolega-koleganya. Sebagian diselamatkan atau disembunyikan oleh pegawai percetakan. Belakangan, buku-buku yang lolos dari pemberangusan aparat keamanan pemerintah kolonial Belanda itu beredar di kalangan pedagang buku-buku lawas dan kolektor.

Sebagian kemudian direproduksi di kalangan terbatas. Melalui jalur inilah, dokumen novel Perawan Desa bisa ditemukan pada hari-hari ini dan kemudian bisa diterbitkan lagi dengan ejaan baru.

Misi penerbitan lagi Perawan Desa bukan sekadar aspek kesejarahan, tapi juga untuk mengenal lebih dalam W.R. Supratman yang bukan hanya seorang komponis, tetapi juga jurnalis, dan penulis secara lebih komprehensif.
Peneliti di Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Razif, dalam pengantar novel Perawan Desa terbitan Penerbit Sinar Hidoep menjelaskan bagian utama novel Perawan Desa adalah narasi sosial tentang superioritas ras dalam sistem kolonial.

Membebaskan Rakyat
Tokoh Van Stelen alias Raden Soebagijo yang berdarah Eropa dikisahkan bisa dengan mudah membawa kabur uang dalam jumlah besar serta mengelabui perempuan dan perawan desa seperti Sitti Adminah.

Warga bumiputra tidak bisa bergaya hidup seperti Soebagijo yang sepanjang hidupnya hanya berfoya-foya, menikmati hak-hak istimewa dari sistem kolonial. Narasi superioitas ras juga dimunculkan W.R. Supratman dalam insiden yang terjadi di antara dua orang penumpang kereta api.

Seorang Belanda yang datang terlambat dan tidak mendapatkan tempat duduk menuduh seorang bumiputra menyerobot haknya. Sesungguhnya yang terjadi saat itu adalah sang bumiputra itu sejak awal keberangkatan kereta telah duduk di bangku itu.

Sang Belanda yang merasa punya derajat lebih tinggi dengan sewenang-wenang ingin mengusir sang bumiputra tersebut. Sang Belanda itu juga mengeluarkan kata-kata rasis untuk menyerang lawan bicaranya. Ternyata sang bumiputra itu tidak diam saja. Dia melawan dengan sengit kesewenang-wenangan orang Belanda itu. Ia mempertahankan tempat duduknya.

Pertengkaran keduanya berakhir ketika dilerai oleh kondektur kereta. W.R. Supratman dengan sangat realistis menyuguhkan gambaran konflik yang jamak terjadi saat itu. Konflik antara kaum penjajah dengan kaum terjajah. Konflik itu merupakan contoh ketimpangan kolonialisme yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Itu adalah wujud superioritas ras yang menjadi ingatan W.R. Supratman. Novel ini, menurut Razif, juga menggambarkan dengan nyata ketimpangan sosial budaya antara kota dan desa. Sitti Adminah, sebagai tokoh utama, yang terbiasa dengan lingkungan pergaulan bersama orang-orang Eropa, menjadi silau dengan gaya hidup kota kolonial di Batavia dan Bogor.
Ia juga mengikuti gaya hidup metropolis era itu yang dibawa oleh orang-orang Eropa, khususnya orang-orang Belanda. Ia tercerabut dari akar budayanya sendiri. Dia yang lahir dan tumbuh di desa justru merasa bosan dengan kehidupan masyarakat perdesaan.

Razif menjelaskan roman Perawan Desa karya W.R. Supratman senapas dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di dalamnya mengandung semangat antikolonialisme, yakni semangat menyelamatkan semuanya: rakyat, laut, serta tanah yang meliputi pulau, hutan, sungai, air, hasil tambang, dan lain-lain.

Ini selaras dengan perjuangan nasionalisme Indonesia yang bersifat membebaskan rakyat dari exploitation de l’homme par l’homme, penindasan manusia oleh manusia.

Tinggalkan komentar