Foto : Lukisan mengenai pertemuan Diponegoro dengan Jenderal Hendrik Mercus de Kock di dinding Museum Mandala Bhakti Semarang
Lebaran Muram Pemimpin Perang Jawa
Oleh Rukardi
Usai sembahyang Idul Fitri, Diponegoro bersama rombongan berangkat dari kamp Matesih menuju rumah dinas Residen Kedu. Ia tak menyangka hari kemenangan itu akan berubah kelabu.
BANYAK orang mafhum ihwal penangkapan Diponegoro. Peristiwa yang menjadi penanda akhir Perang Jawa (1825-1830) itu demikian masyhur lantaran kerap diajarkan oleh guru-guru sejarah di ruang kelas. Meski demikian, banyak yang abai jika penangkapan Sang Pangeran dilakukan saat Idul fitri. Ya, hari yang muram itu, Minggu, 28 Maret 1830, bertepatan dengan 1 Syawal 1245 Hijriah.
Seperti tergambar dalam lukisan Nicolaas Pieneman (1809-1860) dan Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880), penangkapan Diponegoro diwarnai oleh ketegangan dan kesedihan. Para pengikut Pangeran tertunduk lesu, pejabat militer dan serdadu Belanda bersiap membawa putra Sultan Hamengku Buwono III itu ke tempat pembuangan. Sungguh, pemandangan yang jauh dari nuansa kegembiraan Lebaran.
Di dalam kitab yang ditulisnya di pembuangan, Diponegoro mencurahkan kegundahan hatinya. Seperti dikutip Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, pemimpin Perang Jawa itu menuliskan ucapannya kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, panglima tempur tentara Belanda dalam Perang Jawa yang juga Letnan Gubernur Hindia Belanda. “Satu-satunya maksud saya datang ke sini adalah untuk mendesak Anda memenuhi apa yang telah Anda tuliskan dalam surat-rurat itu, (yakni) janji yang Anda buat bahwa saya harus menjadi kepala agama Islam di Jawa. Karena Anda telah mengingkari (janji tersebut), saya berdiri sebagai saksi atas semua pengkhianatan Anda.“
Diponegoro merasa ditelikung oleh Jenderal De Kock dan bawahannya, Kolonel Jan Babtist Cleerens. Dia yang datang ke Wisma Residen Kedu dalam posisi sama tinggi untuk bernegosiasi, tiba-tiba ditangkap dan dibawa ke pengasingan. Padahal Cleerens, kata pangeran dari Tegalrejo itu, telah memberikan jaminan, jika perundingan menemui jalan buntu dia diizinkan kembali ke Bagelen dengan aman. Namun nasi telah menjadi bubur, dia terperangkap dalam lubang jebakan.
Meski demikian, ada versi lain yang menyebut kemungkinan Diponegoro telah mengetahui ihwal skenario penangkapannya. Dalam versi ini, Sang Pangeran dikatakan memanfaatkan momentum itu untuk menyelamatkan harga dirinya sebagai pemimpin Perang Jawa. Diponegoro yang saat itu dalam posisi terjepit, ingin mengakhiri perang dengan terhormat, menyerah kepada Belanda secara bermartabat.
Faktual, memasuki akhir 1829, kekuatan Diponegoro memang mulai melemah. Usai kekalahan dramatis dalam pertempuran di Siluk pada 17 September 1829, dia bersama 50 prajuritnya yang tersisa mundur menyeberangi Kali Progo. Di bawah deraan frustrasi dan rasa lelah, mereka bergerak pelan ke arah barat, membelah hulu Kali Bogowonto hingga sampai di wilayah Bagelen timur. Mengutip Saleh Djamhari, Peter Carey menyebut kekalahan di Siluk sebagai penanda fase akhir Perang Jawa.
Setelah itu kekalahan terus berlanjut. Pada 21 September, Pangeran Ngabehi, satu-satunya panglima senior yang tersisa, terbunuh bersama dua putranya dalam pertempuran di Gunung Kelir, di perbatasan Bagelen-Mataram. Bahkan tak lama kemudian Diponegoro nyaris tertangkap oleh Pasukan Gerak Cepat ke-11 yang dikomandani Mayor AV Michiels saat berada di Pegunungan Gowong pada 11 November. Dia pun harus menyingkir lebih jauh dan bersembunyi di gubuk-gubuk dan rumah kosong di tengah rimba Bagelen barat, hanya dengan kawalan dua punakawannya yang setia, Bantengwareng dan Joyosuroto. Kondisi kesehatan Pangeran yang kepalanya dihargai 20 ribu Gulden oleh Belanda itu amat payah. Tubuhnya demam akibat serangan malaria.
Tapi segala penderitaan itu tak membuat Diponegoro menyerah. Dia berkukuh ingin mewujudkan misinya membebaskan rakyat Jawa dari cengkeraman pemerintah kolonial Belanda dan menjadikan dirinya sebagai Sultan yang merestorasi keluhuran agama Islam di penjuru Tanah Jawa. Namun, Belanda ingin segera menghentikan perang yang sudah berjalan selama hampir lima tahun dan menguras isi kas negara itu. Mereka lalu membuka kemungkinan untuk berunding dengan Pangeran. Melalui Basah Kerto Pengalasan, komandan prajurit Diponegoro yang telah menyerah, dilakukanlah surat-menyurat kepada Raden Adipati Abdullah Danurejo, patih Sang Pangeran yang tengah bersembunyi di Bagelen Barat. Belanda juga mengutus Jan Babtist Cleerens untuk meyakinkan pihak Diponegoro bahwa perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, panglima tempur tentara Belanda dalam Perang Jawa yang juga Letnan Gubernur Hindia Belanda itu sebagai jalan terbaik.
Awalnya Diponegoro menolak keras upaya diplomasi Belanda. Dia enggan menerima surat-surat dari Cleerens. Namun setelah mendapat masukan dari penasihat agamanya, lelaki berjuluk Pangeran Ngabdulkamit itu luluh. Dia pun bersedia membuka dialog dengan Belanda. Diponegoro mengutus pengulu Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badarudin mendatangi Cleerens dan mengundangnya untuk bertemu di Remokamal, di daerah hulu Kali Cingcingguling pada Selasa, 16 Februari 1830. Pertemuan pertama itu berlangsung lancar dan akrab, meski tanpa menelurkan kesepakatan. Namun lewat persuaan tersebut, Belanda sukses merebut simpati Diponegoro.
Walhasil, Cleerens berhasil membujuk Diponegoro untuk menapaki anak tangga perundingan berikutnya. Diponegoro bersedia menunggu kedatangan De Kock, yang sedang berada di Batavia, di Menoreh, daerah kekuasaan Belanda. Kemunculan Diponegoro pada 21 Januari disambut hangat oleh penduduk. Banyak di antara mereka yang bergabung ke dalam pasukan. Akibatnya, kekuatan tentara Jawa pun seketika bertambah dua kali lipat, menjadi 700-an orang. Selama 15 hari, Diponegoro tinggal di garnisun kota. Di tempat itu, dia yang tengah terserang malaria beroleh perawatan dari dokter militer Belanda.
***
Sambil menunggu De Kock, Diponegoro menjalankan puasa Ramadan yang dimulai pada Selasa, 25 Februari. Sebagai orang Jawa putihan yang taat, dia memanfaatkan bulan suci untuk beribadah. Maka, ketika De Kock tiba di Magelang pada awal bulan Maret dan mengajaknya bersemuka, Diponegoro menolak. Dia mengaku tidak bisa melakukan pembicaraan serius pada bulan puasa. Sebagai gantinya, pertemuan tetap dilakukan, tapi hanya sebatas beramah-tamah. Mereka kemudian bersepakat, meneruskan pembicaraan seusai bulan puasa, yakni pada 1 Syawal yang jatuh pada 28 Maret 1830. Diponegoro dan pasukannya lalu memilih menyepi di sebuah tempat yang telah dipersiapkan di daerah Matesih. Di tempat yang terletak di sebuah tanjung di tengah Kali Progo itu, mereka menghabiskan waktu dengan banyak aktivitas ibadah.
Sementara itu, Belanda merasa jeri terhadap sambutan hangat rakyat kepada Diponegoro di Magelang yang berbuntut penambahan jumlah pasukannya. Mereka menganggap itu sebagai penghalang rencana penangkapan Sang Pangeran. Maka, diam-diam Belanda segera mengirim dua satuan pasukan gerak cepat ke Magelang. Mereka juga menyusupkan seorang mata-mata bernama Tumenggung Mangunkusumo ke dalam pasukan Diponegoro. Meski demikian, di hadapan Diponegoro, Belanda menampilkan diri sebagai sahabat terpercaya. Untuk merebut hati Pangeran, misalnya, De Kock pernah dua kali menemuinya. Pertama saat jalan-jalan subuh di taman Keresidenan Kedu, kedua saat mengunjunginya secara pribadi ke Matesih. Dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka berbincang santai dan saling bertukar cerita lucu. De Kock juga pernah mengutus anak buahnya mengirim hadiah seekor kuda kepada Diponegoro. Sampai di sini Belanda telah berhasil menggiring Pangeran ke lubang jebakan.
Hingga akhirnya, hari yang ditunggu tiba. Minggu, 28 Maret, Diponegoro dan pasukannya telah bersiap sejak pagi buta. Mereka mengawali hari itu dengan salat Subuh dan sembahyang Idul fitri berjamaah di kamp Matesih. Lalu, hanya dengan pakaian sederhana dan tanpa lambang-lambang jabatan, mereka berangkat dengan niat baik ke Wisma Residen Kedu di Magelang. Diponegoro hanya mengajak 100 lebih prajurit bersenjata, tiga putranya, empat panglima utama, dua penasihat agama, serta dua punakawannya yang setia.
Rombongan itu sampai di Magelang sekitar pukul 07.30. Mereka disambut hangat oleh pejabat Belanda dalam formasi lengkap. Selain Letnan Jenderal De Kock, ada Residen Valck, perwira staf Letkol WA Roest, Mayor Ajudan De Stuers, dan penerjemah militer untuk bahasa Jawa, Kapten JJ Roeps. Hadir pula komandan artileri medan Letkol A de Kock van Leeuwen, pemimpin pasukan kavaleri Mayor Johan Jacob Perie. Mereka dengan pasukan lengkap bertugas mengawasi dan melenakan pengikut Diponegoro dengan percakapan ramah-tamah.
Babad Diponegoro seperti dikutip Peter Carey menggambarkan perundingan diawali dengan perbincangan hangat. Jenderal De Kock melontar pernyataan bahwa seyogyanya Diponegoro tidak kembali ke Matesih, tapi tetap tinggal bersamanya di Wisma Residen. Pangeran pun merespons dengan kesantunan Jawa: “Mengapa saya tidak boleh pulang (Jenderal)? Apa yang saya lakukan adalah sebagai seorang sahabat yang sesungguhnya datang sebentar. Sebagai kebiasaan adat di Jawa pada selesai puasa, yang muda mendatangi rumah yang dituakan untuk menghilangkan semua kesalahan. Yang tua adalah (Anda) Jenderal jadi (adat-istiadat) yang sama berlaku juga.”
Pelan-pelan, De Kock membawa perbincangan ringan itu ke tujuan Belanda yang sebenarnya. Sampai di satu titik, dia menyatakan bahwa masalah di antara mereka harus diselesaikan saat itu juga. Diponegoro yang mengaku tak siap membicarakan persoalan politik, meminta penangguhan. Tapi De Kock berkukuh dengan keinginannya. Perdebatan kian memanas, Diponegoro lalu kembali menyampaikan niatnya menjadi pemimpin agama Islam di Jawa dengan gelar sultan. Merasa tak mencapai titik temu, De Kock segera menggerakkan pasukan Belanda dari tangsi-tangsi mereka di Magelang ke Wisma Residen. Dia juga memerintahkan pasukannya melucuti pengikut Diponegoro, baik di tempat itu maupun di Matesih. Setelah itu, penangkapan Pangeran langsung dilaksanakan. Dan pada pagi menjelang siang, di hari nan fitri itu, Diponegoro dipaksa naik kereta kuda yang akan membawanya pergi dari Magelang. Dalam De Java-Oorlog van 1825-1830, Louw dan de Klerck menggambarkan betapa di sepanjang perjalanan menuju Bedono, Sang Pangeran acap bergumam: “Bagaimana bisa menjadi begini? Bagaimana bisa?” Diponegoro seperti tak percaya, siasat jahat itu telah menaklukkannya.